Ruang kerja digital: sebuah gagasan

Mungkin sudah beberapa kali kita baca bahwa peran perpustakaan sebagai sarana pencarian ilmu mulai tergeser dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan perluasan peran perpustakaan sebagai sarana penyedia informasi, bukan hanya penyedia buku untuk dipinjamkan. Peran perpustakaan sendiri menurut kami harus diarahkan untuk tidak menentang namun searah dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ellie Wilcox dalam Ida F. Priyanto (2017) dalam konteks perkembangan e-book, bahwa semua pelayanan perpustakaan modern haruslah tetap relevan dengan pemustaka, dan bahwa e-book adalah salah satu bagian penting dalam menawarkan inovasi pelayanan, sebagaimana diinginkan oleh pemustaka dan pada saat dibutuhkan oleh pemustaka.

E-book sebagai salah satu jenis koleksi perpustakaan saat ini, utamanya banyak dilanggan atau dibeli secara perpetual oleh perpustakaan perguruan tinggi. Mahasiswa utamanya pada program pascasarjana memerlukan akses kepada e-book sekaligus juga pada e-journal. Namun koleksi elektronik dalam perkembangannya memiliki jenis kesulitan tersendiri dalam hal pengelolaannya jika dibandingkan dengan koleksi konvensional atau tercetak. Hal ini karena teknologi selalu berubah baik dari segi perangkat lunak pembaca dan pembuat dokumen elektronik, format dari dokumen elektronik serta media penyimpanan dokumen tersebut. Seperti disinyalir oleh Clifford Lynch dalam Irma Elvina (2010) bahwa β€œ…bukan hal yang luar biasa bila orang dapat melihat dokumen tercetak yang sudah berusia 200 tahun. Di dunia tradisional banyak obyek akan survive lama sekali meski ditelantarkan. Obyek digital hanya akan survive bila orang membuat rencana dan dengan sistematis memikirkan kelangsungan hidup obyek tersebut secara berkelanjutan…”

Berdasarkan gambaran dari beberapa hal tersebut di atas, kami mencoba menggagas sebuah ide ruang kerja bagi mahasiswa pascasarjana untuk mengakses koleksi perpustakaan yang berbasis elektronik. Dalam tulisan ini, akan kami tinjau hanya dari 2 aspek, yaitu dari segi jenis koleksi dan dari segi fasilitas ruangan.

Beberapa koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi yang bisa disajikan secara online diantaranya adalah:

  1. Koleksi e-journal dan e-book perpetual. Perpustakaan perguruan tinggi biasanya melanggan e-journal dan e-book dalam bentuk database online yang diterbitkan oleh penerbit besar diantaranya Gale, ScienceDirect, ProQuest, Emerald, Ebsco, Springer, Wiley, dan seterusnya.
  2. Pada perpustakaan perguruan tinggi, skripsi, tesis dan disertasi diunggah ke dalam repositori dalam bentuk elektronik dengan menggunakan perangkat lunak seperti Eprints, Dspace, maupun perangkat lunak buatan sendiri.
  3. Pengumpulan CD, DVD, dan berbagai dokumen elektronik lainnya. CD dan DVD ini biasanya merupakan suplemen dari buku yang dibeli.
  4. Buku, manuskrip, peta yang bisa dijadikan bentuk-bentuk digital (digitized materials), serta berbagai koleksi multimedia.

Berdasarkan pengalaman kami sebagai pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, banyak dari para mahasiswa ini kurang memahami cara penelusuran informasi dalam bentuk digital tersebut, utamanya untuk e-journal dan e-book. Sehingga dalam gagasan sebuah ruang kerja ini, diperlukan petugas atau pustakawan yang siap sedia untuk membantu penelusuran informasi. Diperlukan satu area akses dimana antara pustakawan dan pemustaka jaraknya relatif dekat.

Terkait dengan skema ruangan perpustakaan, Worpole (2004) mengemukakan beberapa tren yang menurut kami beberapa diantaranya bisa diterapkan pada academic library, yaitu;

  1. Perpustakaan yang adaptif terhadap kebutuhan pemustaka diantaranya sirkulasi, akses dan jam buka yang diperpanjang.
  2. Perpustakaan menjadi tempat pertemuan pemustaka dengan mobilitas tinggi namun tetap memerlukan ruang untuk bekerja dalam waktu yang lama dan sekaligus memiliki kemudahan mengakses sumber-sumber informasi tanpa dibatasi waktu.
  3. Kebutuhan untuk belajar dalam waktu yang lama membutuhkan ketersedian sarana dan prasarana diantaranya toilet, kantin, serta ruang rekreasi yang tenang,
  4. Relasi antara perpustakaan dan pemustaka semakin mudah dijembatani melalui perangkat elektronik. Misalnya untuk booking ruang belajar, peminjaman area untuk belajar bersama melalui SMS, dan seterusnya.
  5. Perpustakaan virtual yang bisa diakses 24 jam non stop, 7 hari setiap minggu.

Pada perpustakaan Universitas Sebelas Maret, beberapa sudut baca diberikan konsep lesehan. Konsep ini berdasarkan pada budaya Jawa yang lekat dengan lesehan. Konsep desain perpustakaan utamanya pada ruang belajar harus mendukung budaya setempat. Sebagai contoh di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret di samping disediakan ruang baca konvensional dengan tempat duduk dan meja, juga disediakan area lesehan pada lokasi-lokasi dimana pengunjung bisa membaca dan mempelajari buku yang telah mereka pinjam. Carol R. Brown (2002) dalam konteks mengantisipasi teknologi dalam desain interior perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan yang direncanakan harus mengantisipasi teknologi di masa depan yang tidak kita ketahui. Perpustakaan harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memungkinkan penambahan dan pergeseran komputer dengan mudah untuk memberikan tempat pada rak buku dan tempat duduk. Perpustakaan harus mengantisipasi juga perkembangan ini dengan menggunakan biaya yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian konsep ruang kerja mahasiswa pascasarjana adalah:

  1. Sebuah ruangan tersendiri yang terpisah dari koleksi tercetak, dengan asumsi bahwa mahasiswa tersebut sudah meminjam buku dari ruangan lain dan tinggal membawanya ke ruang kerja. Ruangan juga terpisah dengan area dimana biasa terjadi kebisingan misalnya kantin, tempat pengembalian, loker, dan ruang seminar;
  2. Ruangan disekat atau dipisahkan sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, yang mana satu diantaranya pada seperangkat meja dan kursi untuk belajar mandiri, dan pada partisi ruangan lainnya adalah sebuah pojok lesehan untuk belajar bersama ataupun kegiatan kolaboratif;
  3. Perangkat kerja bisa dibagi menjadi 2, yaitu disediakan komputer sebagai Self-Access Terminal dan hanya meja saja bagi yang membawa laptop dan terdapat layar lebar untuk kegiatan kolaboratif;
  4. Sebuah meja tersendiri bagi petugas diantara kedua partisi tadi agar supaya petugas atau pustakawan bisa dengan leluasa dihubungi maupun memudahkannya berkeliling jika ada yang membutuhkan bantuan.
  5. Mahasiswa dipersilakan membawa makanan ataupun minuman secara mandiri dan menjaga kebersihan ruangan agar supaya mereka merasa nyaman bekerja dalam waktu lama.
  6. Pada ruangan ini, bisa disediakan sebuah atau beberapa buah komputer untuk mempelajari cara akses e-journal dan e-book serta untuk mempelajari beberapa tool riset seperti Mendeley, EndNote, mengakses Scopus, dan sebagainya. Perangkat ini bisa memuat simulasi video, website interaktif, maupun pendampingan oleh pustakawan.
  7. Koleksi-koleksi digital tersebut alangkah baik jika sudah dalam tersimpan dalam server lokal dan sudah dikelompokkan menurut subjek-subjek yang misalnya saja sesuai dengan program studi yang ada di perguruan tinggi tersebut. Hal ini sekaligus sebagai fungsi preservasi dokumen digital yang sudah dilanggan perpustakaan. Dengan demikian, diperlukan usaha tersendiri untuk mengunduh dan mengkategorisasikan koleksi-koleksi digital tersebut. Akses lokal ini juga merupakan usaha mendekatkan perpustakaan dengan pemustaka, utamanya untuk berkolaborasi dalam sebuah penelitian.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Elvina, Irma. (2010). Mengapa Koleksi Digital Harus Dipreservasi. Retrieved from http://irma.staff.ipb.ac.id/2010/04/07/mengapa-koleksi-digital-harus-dipreservasi/

Priyanto, Ida Fajar (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA

2 thoughts on “Ruang kerja digital: sebuah gagasan

  1. Promosi perpustakaan dengan koleksi digital pada umumnya kurang menampilkan sisi visual sehingga koleksi digital kurang terlihat. Model-model proposi atau highlighting koleksi digital dapat dilakukan dengan display layar lebar touchscreen berisi gambar buku-buku digital yang kemudian dapat memberikan ringkasan isi buku tersebut.

    1. Betul pak dan itu akan sangat menarik.. namun kalau disini biasanya berbenturan dengan anggaran dan prioritas. Semoga ke depannya bisa direalisasikan

Leave a Reply

Your email address will not be published.