Bibliotheca Alexandrina, sebuah perjalanan virtual

Bibliotheca Alexandrina (Bibalex) dibangun di atas situs megah yang dulunya adalah pelabuhan kuno Alexandria. Perpustakaan 11 lantai ini dapat diisi 4 juta jilid buku, dan dapat ditingkatkan hingga 8 juta dengan mengefisienkan penyimpanannya. Selain perpustakaan, Bibalex juga mempunyai fasilitas budaya dan pendidikan lainnya termasuk planetarium, museum, sekolah ilmu informasi, dan fasilitas konservasi. Ditandai dengan bentuk melingkar yang miring, bangunan ini memiliki diameter 160 meter, tingginya mencapai 32 meter dan menghunjam 12 meter ke dalam tanah. Plaza terbuka dan kolam renang mengelilingi bangunannya, serta terdapat jembatan penyeberangan yang menghubungkan kota Universitas Alexandria di dekatnya (Snohetta.com).

Bibalex disimbolkan sebagai kebangkitan perpustakaan kuno Alexandria yang didirikan oleh Alexander Agung sekitar 2300 tahun yang lalu hancur seabad kemudian. Perpustakaan Alexandria baru memiliki desain kontemporer yang bermanfaat bagi mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum. Dengan konsep bentuk lingkaran besar di samping pelabuhan Aleksandria, akan mengingatkan kita pada sifat siklus pengetahuan, yaitu fleksibel sepanjang masa. Bangunannya yang berkilau dan atap yang landai mengenangkan pada mercusuar Alexandria kuno dan pada masa kini akan menjadikan kota memiliki simbol baru untuk belajar dan budaya (Snohetta.com)

Sebagai perpustakaan modern yang diresmikan pada tahun 2002, akan kita lihat bagaimana desain perpustakaan ini jika dibandingkan dengan parameter yang digunakan oleh Ida F. Priyanto (2017):

  1. General trend in library, yaitu bahwa all library spaces are learning spaces; fewer physical resources; emptying out shelves; flexibility and modularity; collaboration and comfort; self-services; food, drink, nap; makerspace and integration with other services; serta e-everything
  2. New factor: the shape of things; finding your way; green facilities; service flexibility; serta technology-enabled

Tidak setiap parameter akan dibahas, namun hanya pada garis besarnya saja dan hanya akan diamati jika terdapat keterangan yang bisa dibaca dari website resmi Bibalex maupun website lain yang terkait.

Ruangan

Ruangan perpustakaan terutama dibagi menjadi ruangan untuk koleksi dan ruang baca. Keseluruhan area Bibalex memiliki luas 80.000 meter persegi yang 20.000 meter persegi diantaranya dipakai sebagai ruang baca. Ruang baca ini terdiri dari 7 lantai dan mampu menampung 2000 pengunjung dan diklaim merupakan (ruang baca) yang terluas di dunia. Dari hal ini saja menunjukkan bahwa Bibalex memberikan prioritas ruang bagi pembacanya. Tentu saja terlepas dari kontroversi bahwa jumlah koleksinya dinilai terlalu sedikit dan memerlukan waktu 80 tahun untuk memenuhi keseluruhan gedung dengan buku (Wikipedia). Koleksi buku Bibalex sendiri disebutkan terletak di bawah ruangan baca (Archdaily). Selain itu, Bibalex juga memiliki 200 ruangan khusus untuk para akademisi dan ruang untuk kolaborasi yang disediakan disini adalah Conference Center yang diresmikan pada tahun 1991, yaitu 11 tahun sebelum diresmikannya Bibalex. Pada akhirnya, Conference Center menjadi bagian dari Bibalex.

Koleksi

Pada dasarnya Bibalex terdiri dari perpustakaan utama yang ditunjang oleh 6 perpustakaan khusus yang meliputi perpustakaan Multimedia dan Seni, perpustakaan Taha Husein (untuk penyandang tuna netra dan tuna rungu), perpustakaan anak-anak, perpustakaan remaja, Exchange and Archive section serta Rare Book section. Satu perpustakaan khusus ditambahkan lagi setelah menerima sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Masing-masing perpustakaan khusus ini memiliki website dan kegiatan yang dikelola sendiri-sendiri.

Meskipun diklaim mampu menampung 8 juta buku, namun data dari beberapa sumber menyebutkan koleksi buku pada awal pendiriannya hanya mencapai 500.000 buku dan ditambah 500.000 buku lagi sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Di laman resminya, Rare Book section Bibalex memiliki koleksi terdiri dari koleksi buku langka, 7000 peta, dan koleksi khusus. Bagian ini berisi lebih dari 15.000 buku langka, yang tertua tahun 1496, dan 700 majalah (54.000 terbitan) serta 66.000 buku dari koleksi khusus. Selain itu terdapat koleksi pemenang Nobel sastra sumbangan dari Ratu Silvia (Swedia) dan Ratu Sonya (Norwegia).

Koleksi digitalnya meliputi 40.000 tesis dari perguruan tinggi di Mesir, database yang dilanggan, koleksi digital Science Supercourse, The Alexandria Project, Eternal Egypt, Beacon for Freedom of Expression, President Gamal Abdel Naser Collection, dan Online Access to Consolidated Information on Serials (OACIS).

Selain koleksi perpustakaan, Bibalex juga memiliki 4 museum yang terletak satu lokasi dengan perpustakaan. Museum tersebut adalah museum Anwar Sadat, museum manuskrip, museum benda-benda antik, dan museum sejarah sains. Yang menarik, pada museum Anwar Sadat, disajikan video dengan total durasi 12 jam sumbangan dari televisi Mesir mengenai kehidupan Anwar Sadat. Sedangkan museum benda antik, koleksinya didapatkan pada waktu proses pembangunan (ekskavasi dan konstruksi) perpustakaan dan di lokasi itu juga.

Teknologi

Teknologi merupakan bagian pendukung dari perpustakaan yang mana di Bibalex terdapat beberapa teknologi maju yang akan direview sedikit disini.

  1. Culturama

Merupakan semacam bioskop dengan 9 layar membentuk pemandangan panoramik 180o. Culturama menyajikan rangkuman sejarah Mesir yang merentang sepanjang 5000 tahun. Menariknya, gambar yang disajikan bersifat interaktif yang mana apabila diklik oleh pemateri, maka akan tampil detail dari sebuah presentasi yang dibahas.

  1. Planetarium

Merupakan planetarium modern berbasis IMAX yang dilengkapi dengan proyeksi full-dome. Dalam planetarium ini seolah kita menjelajahi alam semesta, membawanya kita begitu dekat sehingga merasa seolah-olah terbang melalui ruang dan waktu. Planetarium juga menawarkan pertunjukan live yang disajikan oleh para astronom.

  1. Kerjasama dengan Internet Archive

Bibalex melakukan kerjasama dengan Internet Archive sebagai mirror site atau backup site dari server Internet Archive di San Francisco. Internet Archive sendiri mengumpulkan arsip digital seluruh website di dunia mulai tahun 1996. Hingga saat ini, Bibalex mempunyai server penyimpanan backup Internet Archive sebesar 4,9 Peta Byte (4,9 juta Giga Byte). Selain arsip web, server Inernet Archive di Bibalex juga digunakan untuk menyimpan koleksi hasil digitisasi Bibalex sendiri.

  1. Teknologi lain yang disajikan di Bibalex termasuk Science Supercourse Project (kerjasama dengan University of Pittsburgh), Supercomputer cluster dengan performa 11,8 TeraFlops serta Virtual Immersive Science and Technology Applications (VISTA)

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil dari paparan di atas:

  1. Ruang baca merupakan bagian utama dari Bibalex, dan bukannya koleksi. Hal ini menunjukkan beberapa hal yaitu sudah bergesernya peran perpustakaan Bibalex dari collection-centric ke paling tidak generasi keempat sebagai media pembelajaran yang terintegrasi. Hal lainnya adalah adanya kesulitan dalam memperoleh koleksi, entah karena masalah dana atau yang lainnya, sehingga Bibalex kemudian mengalihkan perhatiannya pada koleksi digital sekaligus menggandeng Internet Archive dan berbagai institusi lain untuk pengembangan koleksi non cetak.
  2. Jika kita amati sekilas, Bibalex lebih menyukai kategorisasi perpustakaannya ke dalam tema-tema besar misalnya perpustakaan anak-anak, remaja, book lover, akademisi, dst. Hal ini menunjukkan keinginan untuk mendekatkan perpustakaan ke masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami klasifikasi semisal DDC untuk menglasifikasi koleksinya.
  3. Bibalex memfasilitasi penyandang disabilitas dengan tidak hanya dengan ruang atau corner khusus, tetapi bahkan perpustakaan khusus. Hal ini menunjukkan keberpihakan yang baik kepada pemustaka yang kurang beruntung.
  4. Integrasi Bibalex dengan museum, arsip, planetarium, berbagai teknologi dan pusat pembelajaran, bahkan “penitipan” anak (daycare) mampu menciptakan suasana perpustakaan tidak hanya sebagai tempat koleksi buku namun benar-benar sebagai wahana belajar bagi masyarakat dari berbagai segmen usia.

 

Daftar Pustaka

AD Classics: Bibliotheca Alexandrina / Snøhetta. (February 3, 2015). Retrieved March 31, 2017 from http://www.archdaily.com/592824/ad-classics-bibliotheca-alexandrina-snohetta

Bibliotheca Alexandrina. (n.d.). Retrieved March 31, 2017 from http://snohetta.com/project/5-bibliotheca-alexandrina

Bibliotheca Alexandrina. (March 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikipedia.org/wiki/Bibliotheca_Alexandrina

Bibliotheca Alexandrina: The Great Library of Alexandria Reborn?. (March 27, 2013). Retrieved April 1, 2017 from http://bookriot.com/2013/03/27/critical-linking-march-27th-2013/

Ida Fajar Priyanto. (2017). Library Showcase dan Desain Perpustakaan: Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan sesi ke-5. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Library of Alexandria. (February 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikiarquitectura.com/building/library-of-alexandria/

http://bibalex.org/en/default

Perpustakaan Collection-centric, dari Koleksi Konvensional ke Digital

Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.

Perpustakaan Collection-centric

Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.

Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.

Collection-centric: dari konvensional ke digital

Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.

Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.

Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.

McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA