Digital preservation pada born-digital material

Banyak perpustakaan saat ini berusaha menyajikan karya masa lampau dalam bentuk digital, baik sebagai usaha untuk menyebarluaskan pengetahuan maupun dalam rangka preservasi karya. Di lain pihak, pada saat ini banyak dihasilkan karya dalam bentuk born-digital, yaitu karya yang sudah sejak awalnya berbentuk digital. Muncul pertanyaan, bagaimana karya dalam bentuk yang sudah digital sejak awal ini dipreservasikan sehingga generasi yang akan datang bisa melihat karya pada saat ini? Artikel ini akan mengulas beberapa hal yang harus dilakukan untuk melakukan preservasi materi digital beserta rencana kasus studi, namun kami batasi dengan tidak membahas hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta.

Menurut OCLC, born-digital resources adalah segala sesuatu yang diciptakan dan dikelola secara digital. Contoh dari material born-digital yaitu foto digital, dokumen digital, halaman web yang terpanen (harvested), manuskrip digital, rekaman elektronik, kumpulan data statis, data dinamis, seni digital serta publikasi media digital. Material dalam kategori ini meskipun memiliki keunggulan dari media cetak yaitu kenyamanan dalam penggunaan, fungsionalitasnya, serta mudah untuk didistribusikan melalui media elektronik dan internet, namun memiliki kekurangan yang mendasar yang menyebabkannya rentan hilang, rusak dan pada akhirnya pada waktu tertentu tidak bisa lagi diakses oleh generasi mendatang. Hedstrom dan Montgomery (1998) dalam Digital Preservation Coalition (2008), menyebutkan bahwa material born-digital terancam oleh usangnya teknologi dan kerusakan fisik (media penyimpanannya).

Mengantisipasi kehilangan dokumen digital maupun akses terhadap dokumen tersebut, ada beberapa pendapat yang dikemukakan perihal pelestarian koleksi digital. Menurut Digital Preservation Coalition (2008), harus dilakukan 3 pendekatan dalam melakukan pelestarian material born-digital, yaitu:

  1. Melestarikan perangkat lunak (dan perangkat keras) asli yang digunakan untuk membuat dan mengakses material digital tersebut.
  2. Menciptakan perangkat lunak yang kuat yang mampu melakukan peniruan terhadap cara kerja perangkat lama. Hal ini juga disebut dengan teknologi peniruan (emulation technology)
  3. Memastikan bahwa material digital yang akan dilestarikan sudah ditransfer ke dalam format baru teknologi yang ada. Ini disebut dengan strategi migrasi.

Sedangkan Stephen Gray (2012) mengusulkan metode yang pada dasarnya hampir sama dengan Digital Preservation Coalition yang ia sebut dengan Long-term tactics, yang terdiri dari:

  1. Refreshment, yaitu melakukan backup data ke dalam media yang lain. Misalnya meng-copy data film ke CD yang lain.
  2. Migration, yaitu melakukan perubahan format file ke dalam format yang baru, misalnya dari MPEG1 ke DVD (MPEG2), dari .doc ke .docx, dan seterusnya.
  3. Emulation, yakni berusaha mengurangi ketergantungan pada perangkat lunak pembaca data. Perangkat lunak ini seharusnya mampu membaca data dalam waktu yang lama.

Strategi pelestarian koleksi digital pada dasarnya sama dan memiliki garis besar yakni kelestarian media penyimpanan (perangkat keras) dan kelestarian perangkat lunak pencipta dan pengelola material born-digital tersebut. Hal ini tampaknya yang membuat pelestarian koleksi digital lebih kompleks dari koleksi cetak, yaitu apabila koleksi cetak hanya diperlukan materialnya saja (secara fisik tampak yakni buku,majalah, koran, dll), sedangkan untuk koleksi digital juga diperlukan perangkat untuk mengaksesnya.

Studi kasus pelestarian koleksi digital

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk mengelola karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa yang berupa laporan penelitian, skripsi, tesis dan disertasi. Di perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), akses karya ilmiah tersebut sedang dalam proses bergeser dari mengakses karya dalam bentuk tercetak dan daring, menjadi akses daring saja (mengingat keterbatasan tempat penyimpanan karya, yang bisa mencapai 7000 karya per tahun). Dan tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat diambil kebijakan bahwa karya yang dikumpulkan hanya dalam bentuk digital. Sedangkan format born-digital, UNS memiliki website resmi universitas, website perpustakaan dan blog untuk mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikannya. Untuk mengantisipasi kelestarian karya ilmiah maupun blog supaya bisa diakses di masa yang akan datang, perlu kiranya dipertimbangkan untuk melakukan langkah digital preservation.

Diantara langkah yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Untuk koleksi karya ilmiah (https://digilib.uns.ac.id, https://eprints.uns.ac.id dan https://jurnal.uns.ac.id), dokumen yang sudah diunggah perlu dilakukan backup dan disimpan dalam server backup yang dari tahun ke tahun perangkat keras dan perangkat lunaknya selalui diperbarui. Dalam hal manajemen server, perangkat lunak yang harus diperbarui adalah VMWare-nya. Sedangkan untuk mengakses file tersebut, perlu juga dibeli dan disimpan perangkat lunak pengakses PDF yaitu Adobe Acrobat, Nitro, peramban seperti Mozilla Firefox dan Google Chrome lengkap dengan plugin untuk mendownload format PDF serta aplikasi-aplikasi untuk mengakses file dalam format gambar (JPEG, PNG, dst).Sementara format file karya tersebut saat ini masih menggunakan portable document format (pdf) yang saat ini masih didukung baik oleh peramban maupun aplikasi desktop sehingga belum perlu dilakukan migrasi besar-besaran (terhadap total karya yang mencapai 40.000 dokumen). Dalam hal format, apabila dokumen ini akan ditransfer ke format flip book, hal ini akan memakan tenaga dan sumber daya yang tidak sedikit, sehingga kami kira tidak perlu dimigrasikan ke format lain karena PDF masih mencukupi.
  1. Untuk website universitas (https://uns.ac.id), website perpustakaan (https://library.uns.ac.id) dan blog (http://blog.uns.ac.id), perlu dilakukan pendekatan harvesting web content dan web archiving, dimana hal ini sudah dilakukan oleh Internet Archive (https://archive.org), Library of Congress (https://www.loc.gov/websites/collections) dan beberapa institusi besar lainnya seperti National Library of Australia, Bibliothèque nationale de France dan the Österreichische Nationalbibliothek. Blog pada perguruan tinggi juga perlu dilestarikan mengingat di lingkungan akademik, banyak materi kuliah berupa presentasi dan dimungkinkan juga data riset yang dipublikasi yang pada suatu saat perlu dibuka kembali untuk melanjutkan sebuah penelitian.Sesuai pendapat Digital Preservation Coalition (DPC), dokumen web archiving bisa disimpan dalam format WARC (WebARChive). Untuk melakukan archiving pada website tentu tidak dilakukan dengan mudah, namun bisa dilakukan dengan perangkat lunak yang secara garis besar fungsinya adalah menyediakan alur kerja (workflow) pengarsipan web, yakni pemilihan material, perijinan, pendeskripsian, penjadwalan, pemanenan, penjaminan mutu, pengarsipan dan akses.

 

Daftar Pustaka

Digital Preservation Coalition. (2008). Preservation Management of Digital Material: The Handbook. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/pages/handbook/docs/DPCHandbookDigPres.pdf

Digital Preservation Coalition. (2015). Digital Preservation Handbook: Web Archiving. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/handbook/content-specific-preservation/web-archiving

Gray, Stephen. (2012). Preserving Born-Digital Material. Retrieved March 16, 2017 from http://www.performingartscollections.org.uk/resources/practical-solutions-for-collections/preserving-born-digital-material/

Erway, Ricky. (2010). Defining Born Digital. Retrieved March 16, 2017 from http://www.oclc.org/content/dam/research/activities/hiddencollections/borndigital.pdf

Perpustakaan Collection-centric, dari Koleksi Konvensional ke Digital

Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.

Perpustakaan Collection-centric

Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.

Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.

Collection-centric: dari konvensional ke digital

Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.

Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.

Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.

McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA