Mengenal konsep koleksi digital pada iJakarta dan iPusnas

Sebelum mengenal lebih jauh mengenai iJakarta dan iPusnas, ada baiknya beberapa pengertian terkait koleksi dan koleksi digital kita kenal dahulu. Menurut Undang-Undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007, koleksi adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan. Sedangkan pengertian koleksi digital menurut William Y. Arms (2000) dalam Priyanto (2017) yaitu kumpulan koleksi informasi yang dikelola dimana informasi tersebut disimpan dalam bentuk digital dan bisa diakses melalui jaringan. Perpustakaan, secara sederhana, sudah kita kenal sebagai sebuah lembaga tempat dimana kita melakukan peminjaman buku. Kata peminjaman perlu kita tekankan disini, karena jika bersentuhan dengan format digital, bisa jadi kita berasumsi bahwa koleksi digital bisa kita simpan/miliki  pada gawai kita. Perpustakaan, demikian juga dengan yang digital, mestinya tetap mempertahankan konsep peminjaman ini.

Di Indonesia, kemunculan iJakarta pada Oktober 2015 adalah sebuah tren baru bagi dunia perpustakaan digital di Indonesia. iJakarta adalah aplikasi perpustakaan yang dibuat atas inisiatif Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Woolu Aksara Maya.  Aplikasi iJakarta, pada dasarnya adalah sebuah aplikasi membaca buku digital (ebook-reader) yang dilengkapi dengan fitur media sosial  dan dapat diakses melalui berbagai jenis perangkat keras (multi device) maupun perangkat lunak  (multi platform), seperti android iOS, dan Windows (Mikhael Tardas: 2015). iJakarta dilengkapi pula dengan fitur media sosial sehingga antara anggota satu dan lainnya bisa saling melihat buku apa saja yang sedang dibaca dan yang pernah dipinjam.

Menyusul kemudian pada bulan Agustus 2016, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga meluncurkan aplikasi sejenis yang diberi nama dengan iPusnas. iPusnas sendiri adalah aplikasi peminjaman buku online seperti halnya iJakarta namun oleh Perpusnas, iPusnas dijadikan terintegrasi dengan Indonesia One Search (IOS). Sama halnya dengan iJakarta, iPusnas juga dikembangkan dibawah bendera Aksaramaya.

Konsep dasar iJakarta dan iPusnas

Secara garis besar, konsep perpustakaan digital dari iJakarta dan iPusnas adalah sebagai berikut:

1. Open digital library

Disebutkan dalam laman web BPAD DKI Jakarta, bahwa iJakarta dibuat dengan konsep Open Digital Library. Menurut Suleman (2001), Open digital library (ODL) pada dasarnya dibuat berdasarkan konsep Open Archive Initiative (OAI) dimana ODL sendiri adalah jejaring dari Open Archive yang diperluas (extended). OAI sendiri diciptakan untuk menjembatani interoperabilitas antar digital library sehingga bisa saling berkomunikasi. Komunikasi antar perpustakaan digital ini dilakukan oleh protokol yang diberi nama Protocol for Metadata Harvesting (PMH).

Sedangkan konsep ODL yang dimaksudkan dalam iJakarta adalah “… semua pihak dapat mempunyai perpustakaan digital yang disebut “ePustaka” dalam iJakarta, sepanjang mempunyai konten yang dapat dipublikasi dan dipinjamkan oleh anggota ePustaka tersebut, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku…” (Mikhael Tardas: 2015). Pihak-pihak ini bisa menyumbangkan e-book yang menjadi bacaan selama ini sehingga pemustaka lainnya juga bisa meminjam koleksi buku dari pihak tersebut. Buku-buku sumbangan tersebut dijadikan satu dengan 1 jendela pencarian (OPAC) melalui jendela pencarian pada iJakarta. Jika dibandingkan dengan konsep dari Suleman (2001), tentu saja pengertian ODL iJakarta berbeda dengan yang dimaksud dengan ODL dari Suleman (2001). Hanya saja iJakarta bisa saja dianggap sebagai ODL apabila dianalogikan bahwa tiap-tiap pemustaka seolah-olah adalah perpustakaan digital itu sendiri dimana proses harvesting dari metadata sudah dilakukan dan dikelola otomatis melalui sistem iJakarta.

2. Digital rights management.

iPusnas, dalam release yang dituliskan di website resmi Perpusnas disebutkan memiliki konsep Digital Rights Management (DRM). “…Konten digital terkait dengan Digital Right Manajemen (DRM) yaitu mengatur siapa yang membaca, apa yang dibaca, kapan dibaca, bagaimana membacanya, berapa banyak bisa dibaca, dan variabel lainnya. Salah satu yang penting membuat DRM adalah sekuriti, dimana dalam mengakses konten digital perlu dibuat enkripsi atau reader. Nantinya koleksi full text  yang telah diindex dalam IOS dapat ditampilkan dalam iPUSNAS sepanjang diijinkan oleh penerbit, ataupun perpustakaan yang telah bergabung dapat dibuatkan IPustaka…”

Digital rights management sendiri menurut Subramanya (2006) bertujuan menciptakan sebuah kerangka kerja (framework) yang terdiri dari kebijakan, teknik dan perangkat dalam proses pemanfaatan konten digital. Lebih lanjut, DRM bagi pengarang, penerbit dan pembaca konten digital membawa perspektif sebagai berikut “…it facilitates the creator to specify the desired ownership rights of the content. It enables the producer to derive appropriate metadata from the content and specify the producer’s rights. It allows the consumer to specify the desired content and the various options in the use of content. It also allows the producer to monitor the content usage and track payment information…

Adalah suatu hal yang penting bahwa konten digital, termasuk di dalamnya adalah e-book, bahwa pengarang tetap mendapatkan manfaat dari hasil karyanya yang dengan demikian menjamin bahwa pengarang tetap produktif. Kemudahan dalam pembayaran royalti dan pembelian buku oleh perpustakaan (dalam hal ini adalah perpustakaan digital) akan memberikan rasa aman bagi pembaca dalam mengakses informasi karena sudah ada jaminan bahwa buku yang dibacanya diperoleh dari sumber dan cara yang sah/legal.

3. Buku dipinjamkan, bukan dimiliki.

Jika kita melakukan peminjaman buku menggunakan aplikasi iJakarta dan iPusnas, maka e-book tersebut akan diunduh ke dalam gawai kita dengan sebuah format tertentu, dalam hal iPusnas, format tersebut adalah ePub. Sebagai peminjam umum, biasanya kita akan diberi waktu membaca selama 2 hari. Selama 2 hari tersebut, e-book tertentu akan bisa kita akses dan kita baca baik kita dalam kondisi daring (online) maupun luring (offline). Apabila telah melewati 2 hari, maka akses kita kepada e-book tersebut sudah berakhir. Dengan demikian, bahwa baik pada iJakarta maupun iPusnas, konsep perpustakaan sebagai sarana peminjaman buku sudah diterapkan dengan benar. Hal ini yang tentu saja membedakan antara konsep perpustakaan digital dan toko buku online.

Dari paparan tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa baik iJakarta maupun iPusnas adalah sebuah gagasan baru dalam perpustakaan digital yang memenuhi kualifikasi dan sudah sesuai dengan konsep-konsep sebagai perpustakaan digital sepenuhnya.

Daftar Pustaka

Arms, William Y. (2000). Digital Libraries. The MIT Press.

Ida F. Priyanto. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Universitas Gadjah Mada.

Indonesia One Search (IOS) dan iPusnas sebagai layanan digital terkini Perpustakaan Nasional RI. (2016, Aug 2). Retrieved March 2, 2017 from http://dev.perpusnas.go.id/indonesia-one-search-ios-dan-ipusnas-sebagai-layanan-digital-terkini-perpustakaan-nasional-ri/

Mikhael Tardas. (2015). iJakarta: Perpustakaan Digital berbasis Social Media. Retrieved March 1, 2017 from http://www.bpadjakarta.net/index.php/component/content/article/48-berita-bpad/604-ijakartaperpustakaanberbasissocialmedia

Noval Kurniadi. (2016). iJakarta, antara Kebanggaan dan tantangan. Retrieved March 1, 2017 from http://www.kompasiana.com/nkurniadi/ijakarta-antara-kebanggaan-dan-tantangan_57d18e94aa23bd5151eb0dac

Pelangi Karismakristi. (2016, Oct 13). Ayo Baca Buku via Aplikasi iPusnas, Gratis!. Retrieved March 2, 2017 from http://news.metrotvnews.com/peristiwa/Dkqjn4RK-ayo-baca-buku-via-aplikasi-ipusnas-gratis

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Lembaran Negara RI tahun 2007, Nomor 129. Sekretariat Negara. Jakarta

Subramanya, S.R. & Yi, B.K. (2006). Digital Rights Management. IEEE Potentials, 25(2), 31-34. doi: 10.1109/MP.2006.1649008

Suleman, Hussein & Fox, Edward A. (2001). A Framework for Building Open Digital Libraries. D-Lib Magazine, 7(12). doi: 10.1045/december2001-suleman

Perpustakaan Collection-centric, dari Koleksi Konvensional ke Digital

Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.

Perpustakaan Collection-centric

Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.

Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.

Collection-centric: dari konvensional ke digital

Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.

Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.

Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.

McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA