Framework dalam mendesain User Experience (UX) di Perpustakaan

Setelah melampaui generasi pertama dan kedua perpustakaan, yakni yang berorientasi koleksi dan pemustaka, maka pustakawan dihadapkan pada tantangan baru yakni bagaimana memanjakan para pemustaka. Kebutuhan pemustaka apalagi memasuki abad 21 yang dipenuhi perkembangan teknologi memunculkan konsep User Experience dalam perpustakaan, yaitu bagaimana pemustaka merasakan pengalaman (experience) baru ketika mengunjungi perpustakaan (perpustakaan generasi ke-3). Pengalaman ini, sesuai konsep perpustakaan sebagai tempat belajar, akan semakin memberikan nilai lebih apabila dihubungkan dengan konsep generasi ke 4 perpustakaan sebagai tempat bagi connected and collaborative learning experience.

Konsep User Experience (UX) pada awalnya berasal dari keilmuan komputer dalam hal interaksi manusia dan komputer (human-computer interaction). Namun karena hal ini juga bisa diterapkan pada perpustakaan, yang mana perpustakaan juga selalu berkembang mengikuti model belajar pemustakanya, maka UX juga menjadi tren tersendiri di perpustakaan. Untuk mendesain UX yang sesuai kebutuhan, maka proses yang diterapkan yakni pertama mengenal tren model belajar saat ini, kedua menganalisis dan mengonsep kebutuhan pemustaka dengan panduan (framework) dari ahlinya, dan ketiga mewujudkan konsep tersebut ke dalam perpustakaan dan melihat reaksi pemusaka. Yang akan kita bahas dalam artikel ini hanya pada 2 proses pertama.

Pertama, terkait dengan tren pembelajaran saat ini dalam konteks perpustakaan, maka ada beberapa tren pembelajaran yang bisa diambil dari artikel Peter Fernandez (2017), diantaranya:

  1. Personalized learning tools and techniques, meet individual needs.

Setiap pelajar/mahasiswa/pemustaka meskipun secara garis besar memiliki kecenderungan yang bisa dikategorisasi, tetap saja setiap mereka memiliki kebutuhan spesifik yang berbeda dengan orang lain. Kebutuhan inilah yang harus difasilitasi oleh perpustakaan. Kebutuhan ini bisa berupa ruangan yang sunyi (silent), area kerja (workspace) yang leluasa, ataupun periferal teknologi yang dibutuhkan misalnya stop kontak listrik maupun charger untuk laptop, smartphone, dst.

  1. Massive open online course

Semakin banyaknya website yang men-share materi kuliahnya secara online, juga memberikan tantangan bagi perpustakaan untuk berbenah. Beberapa bahkan memberikan sertifikat bagi yang sudah menyelesaikan materi dan lulus ujian online. Perpustakaan bisa mengantisipasinya dengan memberikan layanan sejenis yang ada di dalam perpustakaan. Misalnya saja dengan mengumpulkan materi kuliah dari dosen dan bisa diakses secara lokal di dalam perpustakaan kampus.

  1. Formal, informal and lifelong learning

Banyak pemustaka yang memiliki keinginan belajar yang baik dan disertai kemampuan untuk belajar mandiri. Misalnya dengan melihat tutorial di Youtube, menyelesaikan pekerjaan dengan software open source, berinteraksi dengan para pakar melalui blog dan media sosial, dst. Mereka ini tidak hanya menganggap bahwa belajar hanya di ruang kelas tapi bisa dimana saja. Disinilah peran perpustakaan untuk memfasilitasi model belajar seperti ini.

Kedua, dengan melihat beberapa tren pembelajaran tadi, kita kemudian akan merancang konsep perpustakaan seperti apa yang sesuai. Memang hal ini tidak mudah dan tidak langsung menyelesaikan masalah, namun paling tidak kami melihat bahwa framework untuk merancang kebutuhan (UX) tersebut sangat berkaitan dengan wawancara kepada pemustaka. Paling tidak ada 2 model yang bisa diajukan yakni dari American Association of School Librarian (2013) dan Design Thinking dari IDEO (2014).

  1. American Association of School Librarian, sebagaimana dimuat dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners

Dalam merancang kebutuhan pemustaka, disediakanlah kuesioner yang ditujukan kepada pemustaka. Hal yang penting adalah mencermati pertanyaan apa yang tepat yang mampu membuat kita menganalisis dan mengonsep desain yang pas. Beberapa contoh pertanyaan yang dijumpai dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners diantaranya:

  • Fasilias apa yang bisa disediakan oleh perpustakaan yang di kelas tidak dijumpai?
  • Apa arti kolaborasi dalam sebuah ruangan perpustakaan?
  • Firnitur apa yang diperlukan pada saat menggunakan tablet, laptop dan smartphone?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku tercetak?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku elektronik?
  • Apakah warna furnitur dan tembok perpustakaan berpengaruh? Kenapa?
  • Pada saat belajar, alat apa saja yang kamu butuhkan dengan segera?
  • Aktivitas favorit apa yang kamu kerjakan di perpustakaan?
  • Peralatan apa yang kamu butuhkan saat kamu bekerja bersama temanmu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan dalam sebuah group discussion dimana selain pustakawan dan pemustaka, juga dihadirkan orang tua murid (dalam hal perpustakaan sekolah).

Contoh desain dari buku Library Spaces for 21st-Century Learners

  1. Design Thinking

Design thinking adalah sebuah toolkit, atau mungkin juga tepat disebut dengan framework, untuk mendesain perpustakaan yang sesuai dengan konsep human-centred. Design thinking adalah toolkit yang dikembangkan oleh IDEO, sebuah perusahaan desain dengan didukung oleh Bill and Melinda Gates Foundation untuk membantu pustakawan mengenali para pemustakanya, kebutuhan-kebutuhannya, yang  tujuan akhirnya adalah sebuah desain perpustakaan yang memberikan pengalaman (experience) baru bagi pemustakanya. Design thinking seperti disebutkan dalam websitenya (http://designthinkingforlibraries.com/) terdiri dari 2 buah toolkit untuk memandu pustakawan mendesain model perpustakaannya, yaitu Toolkit Guide dan Toolkit Activities Workbook. 2 toolkit ini disertai 1 rangkuman yaitu At-a-glance Guide.

Landasan berpikir Design Thinking ini juga sebuah kuesioner dan praktek pembuatan prototipe. Berikut ini adalah gambaran konseptual Design Thinking yang diambil dari Toolkit berikut penjelasannya.

Konsep Design Thinking dari IDEO

TAHAP INSPIRATION

  1. Menantang diri sendiri untuk membuat desain
  2. Mengeksplorasi metode riset
  3. Merencanakan riset
  4. Mendokumentasikan riset

TAHAP IDEATION

  1. Menceritakan ide
  2. Mencari tema
  3. Menciptakan brainstorm
  4. Menggali gagasan-gagasan
  5. Membuat prototipe

TAHAP ITERATION

  1. Mengevaluasi gagasan-gagasan
  2. Mencari masukan dari pengguna
  3. Menjalankan mini-pilot
  4. Mengevaluasi kemajuan

 

Daftar Pustaka

American Library Association. (2013). Library Spaces for 21st-Century Learners. American Association of School Librarians.

http://designthinkingforlibraries.com/

Ida F. Priyanto. (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada.

Peter Fernandez. (2017). “Through the looking glass: envisioning new library technologies” Educational Trends that Will Impact Library Technology. Library Hi Tech News, 34(1).

 

One thought on “Framework dalam mendesain User Experience (UX) di Perpustakaan

  1. Barangkali sudah waktunya bagi sebuah perpustakaan di Indonesia untuk memiliki satu unit khusus bidang kajian–baik kajian tentang pemustaka, user-behavior, UX, maupun learning style.

Leave a Reply

Your email address will not be published.