Digital preservation pada born-digital material

Banyak perpustakaan saat ini berusaha menyajikan karya masa lampau dalam bentuk digital, baik sebagai usaha untuk menyebarluaskan pengetahuan maupun dalam rangka preservasi karya. Di lain pihak, pada saat ini banyak dihasilkan karya dalam bentuk born-digital, yaitu karya yang sudah sejak awalnya berbentuk digital. Muncul pertanyaan, bagaimana karya dalam bentuk yang sudah digital sejak awal ini dipreservasikan sehingga generasi yang akan datang bisa melihat karya pada saat ini? Artikel ini akan mengulas beberapa hal yang harus dilakukan untuk melakukan preservasi materi digital beserta rencana kasus studi, namun kami batasi dengan tidak membahas hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta.

Menurut OCLC, born-digital resources adalah segala sesuatu yang diciptakan dan dikelola secara digital. Contoh dari material born-digital yaitu foto digital, dokumen digital, halaman web yang terpanen (harvested), manuskrip digital, rekaman elektronik, kumpulan data statis, data dinamis, seni digital serta publikasi media digital. Material dalam kategori ini meskipun memiliki keunggulan dari media cetak yaitu kenyamanan dalam penggunaan, fungsionalitasnya, serta mudah untuk didistribusikan melalui media elektronik dan internet, namun memiliki kekurangan yang mendasar yang menyebabkannya rentan hilang, rusak dan pada akhirnya pada waktu tertentu tidak bisa lagi diakses oleh generasi mendatang. Hedstrom dan Montgomery (1998) dalam Digital Preservation Coalition (2008), menyebutkan bahwa material born-digital terancam oleh usangnya teknologi dan kerusakan fisik (media penyimpanannya).

Mengantisipasi kehilangan dokumen digital maupun akses terhadap dokumen tersebut, ada beberapa pendapat yang dikemukakan perihal pelestarian koleksi digital. Menurut Digital Preservation Coalition (2008), harus dilakukan 3 pendekatan dalam melakukan pelestarian material born-digital, yaitu:

  1. Melestarikan perangkat lunak (dan perangkat keras) asli yang digunakan untuk membuat dan mengakses material digital tersebut.
  2. Menciptakan perangkat lunak yang kuat yang mampu melakukan peniruan terhadap cara kerja perangkat lama. Hal ini juga disebut dengan teknologi peniruan (emulation technology)
  3. Memastikan bahwa material digital yang akan dilestarikan sudah ditransfer ke dalam format baru teknologi yang ada. Ini disebut dengan strategi migrasi.

Sedangkan Stephen Gray (2012) mengusulkan metode yang pada dasarnya hampir sama dengan Digital Preservation Coalition yang ia sebut dengan Long-term tactics, yang terdiri dari:

  1. Refreshment, yaitu melakukan backup data ke dalam media yang lain. Misalnya meng-copy data film ke CD yang lain.
  2. Migration, yaitu melakukan perubahan format file ke dalam format yang baru, misalnya dari MPEG1 ke DVD (MPEG2), dari .doc ke .docx, dan seterusnya.
  3. Emulation, yakni berusaha mengurangi ketergantungan pada perangkat lunak pembaca data. Perangkat lunak ini seharusnya mampu membaca data dalam waktu yang lama.

Strategi pelestarian koleksi digital pada dasarnya sama dan memiliki garis besar yakni kelestarian media penyimpanan (perangkat keras) dan kelestarian perangkat lunak pencipta dan pengelola material born-digital tersebut. Hal ini tampaknya yang membuat pelestarian koleksi digital lebih kompleks dari koleksi cetak, yaitu apabila koleksi cetak hanya diperlukan materialnya saja (secara fisik tampak yakni buku,majalah, koran, dll), sedangkan untuk koleksi digital juga diperlukan perangkat untuk mengaksesnya.

Studi kasus pelestarian koleksi digital

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk mengelola karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa yang berupa laporan penelitian, skripsi, tesis dan disertasi. Di perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), akses karya ilmiah tersebut sedang dalam proses bergeser dari mengakses karya dalam bentuk tercetak dan daring, menjadi akses daring saja (mengingat keterbatasan tempat penyimpanan karya, yang bisa mencapai 7000 karya per tahun). Dan tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat diambil kebijakan bahwa karya yang dikumpulkan hanya dalam bentuk digital. Sedangkan format born-digital, UNS memiliki website resmi universitas, website perpustakaan dan blog untuk mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikannya. Untuk mengantisipasi kelestarian karya ilmiah maupun blog supaya bisa diakses di masa yang akan datang, perlu kiranya dipertimbangkan untuk melakukan langkah digital preservation.

Diantara langkah yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Untuk koleksi karya ilmiah (https://digilib.uns.ac.id, https://eprints.uns.ac.id dan https://jurnal.uns.ac.id), dokumen yang sudah diunggah perlu dilakukan backup dan disimpan dalam server backup yang dari tahun ke tahun perangkat keras dan perangkat lunaknya selalui diperbarui. Dalam hal manajemen server, perangkat lunak yang harus diperbarui adalah VMWare-nya. Sedangkan untuk mengakses file tersebut, perlu juga dibeli dan disimpan perangkat lunak pengakses PDF yaitu Adobe Acrobat, Nitro, peramban seperti Mozilla Firefox dan Google Chrome lengkap dengan plugin untuk mendownload format PDF serta aplikasi-aplikasi untuk mengakses file dalam format gambar (JPEG, PNG, dst).Sementara format file karya tersebut saat ini masih menggunakan portable document format (pdf) yang saat ini masih didukung baik oleh peramban maupun aplikasi desktop sehingga belum perlu dilakukan migrasi besar-besaran (terhadap total karya yang mencapai 40.000 dokumen). Dalam hal format, apabila dokumen ini akan ditransfer ke format flip book, hal ini akan memakan tenaga dan sumber daya yang tidak sedikit, sehingga kami kira tidak perlu dimigrasikan ke format lain karena PDF masih mencukupi.
  1. Untuk website universitas (https://uns.ac.id), website perpustakaan (https://library.uns.ac.id) dan blog (http://blog.uns.ac.id), perlu dilakukan pendekatan harvesting web content dan web archiving, dimana hal ini sudah dilakukan oleh Internet Archive (https://archive.org), Library of Congress (https://www.loc.gov/websites/collections) dan beberapa institusi besar lainnya seperti National Library of Australia, Bibliothèque nationale de France dan the Österreichische Nationalbibliothek. Blog pada perguruan tinggi juga perlu dilestarikan mengingat di lingkungan akademik, banyak materi kuliah berupa presentasi dan dimungkinkan juga data riset yang dipublikasi yang pada suatu saat perlu dibuka kembali untuk melanjutkan sebuah penelitian.Sesuai pendapat Digital Preservation Coalition (DPC), dokumen web archiving bisa disimpan dalam format WARC (WebARChive). Untuk melakukan archiving pada website tentu tidak dilakukan dengan mudah, namun bisa dilakukan dengan perangkat lunak yang secara garis besar fungsinya adalah menyediakan alur kerja (workflow) pengarsipan web, yakni pemilihan material, perijinan, pendeskripsian, penjadwalan, pemanenan, penjaminan mutu, pengarsipan dan akses.

 

Daftar Pustaka

Digital Preservation Coalition. (2008). Preservation Management of Digital Material: The Handbook. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/pages/handbook/docs/DPCHandbookDigPres.pdf

Digital Preservation Coalition. (2015). Digital Preservation Handbook: Web Archiving. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/handbook/content-specific-preservation/web-archiving

Gray, Stephen. (2012). Preserving Born-Digital Material. Retrieved March 16, 2017 from http://www.performingartscollections.org.uk/resources/practical-solutions-for-collections/preserving-born-digital-material/

Erway, Ricky. (2010). Defining Born Digital. Retrieved March 16, 2017 from http://www.oclc.org/content/dam/research/activities/hiddencollections/borndigital.pdf

Mengenal konsep koleksi digital pada iJakarta dan iPusnas

Sebelum mengenal lebih jauh mengenai iJakarta dan iPusnas, ada baiknya beberapa pengertian terkait koleksi dan koleksi digital kita kenal dahulu. Menurut Undang-Undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007, koleksi adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan. Sedangkan pengertian koleksi digital menurut William Y. Arms (2000) dalam Priyanto (2017) yaitu kumpulan koleksi informasi yang dikelola dimana informasi tersebut disimpan dalam bentuk digital dan bisa diakses melalui jaringan. Perpustakaan, secara sederhana, sudah kita kenal sebagai sebuah lembaga tempat dimana kita melakukan peminjaman buku. Kata peminjaman perlu kita tekankan disini, karena jika bersentuhan dengan format digital, bisa jadi kita berasumsi bahwa koleksi digital bisa kita simpan/miliki  pada gawai kita. Perpustakaan, demikian juga dengan yang digital, mestinya tetap mempertahankan konsep peminjaman ini.

Di Indonesia, kemunculan iJakarta pada Oktober 2015 adalah sebuah tren baru bagi dunia perpustakaan digital di Indonesia. iJakarta adalah aplikasi perpustakaan yang dibuat atas inisiatif Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Woolu Aksara Maya.  Aplikasi iJakarta, pada dasarnya adalah sebuah aplikasi membaca buku digital (ebook-reader) yang dilengkapi dengan fitur media sosial  dan dapat diakses melalui berbagai jenis perangkat keras (multi device) maupun perangkat lunak  (multi platform), seperti android iOS, dan Windows (Mikhael Tardas: 2015). iJakarta dilengkapi pula dengan fitur media sosial sehingga antara anggota satu dan lainnya bisa saling melihat buku apa saja yang sedang dibaca dan yang pernah dipinjam.

Menyusul kemudian pada bulan Agustus 2016, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga meluncurkan aplikasi sejenis yang diberi nama dengan iPusnas. iPusnas sendiri adalah aplikasi peminjaman buku online seperti halnya iJakarta namun oleh Perpusnas, iPusnas dijadikan terintegrasi dengan Indonesia One Search (IOS). Sama halnya dengan iJakarta, iPusnas juga dikembangkan dibawah bendera Aksaramaya.

Konsep dasar iJakarta dan iPusnas

Secara garis besar, konsep perpustakaan digital dari iJakarta dan iPusnas adalah sebagai berikut:

1. Open digital library

Disebutkan dalam laman web BPAD DKI Jakarta, bahwa iJakarta dibuat dengan konsep Open Digital Library. Menurut Suleman (2001), Open digital library (ODL) pada dasarnya dibuat berdasarkan konsep Open Archive Initiative (OAI) dimana ODL sendiri adalah jejaring dari Open Archive yang diperluas (extended). OAI sendiri diciptakan untuk menjembatani interoperabilitas antar digital library sehingga bisa saling berkomunikasi. Komunikasi antar perpustakaan digital ini dilakukan oleh protokol yang diberi nama Protocol for Metadata Harvesting (PMH).

Sedangkan konsep ODL yang dimaksudkan dalam iJakarta adalah “… semua pihak dapat mempunyai perpustakaan digital yang disebut “ePustaka” dalam iJakarta, sepanjang mempunyai konten yang dapat dipublikasi dan dipinjamkan oleh anggota ePustaka tersebut, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku…” (Mikhael Tardas: 2015). Pihak-pihak ini bisa menyumbangkan e-book yang menjadi bacaan selama ini sehingga pemustaka lainnya juga bisa meminjam koleksi buku dari pihak tersebut. Buku-buku sumbangan tersebut dijadikan satu dengan 1 jendela pencarian (OPAC) melalui jendela pencarian pada iJakarta. Jika dibandingkan dengan konsep dari Suleman (2001), tentu saja pengertian ODL iJakarta berbeda dengan yang dimaksud dengan ODL dari Suleman (2001). Hanya saja iJakarta bisa saja dianggap sebagai ODL apabila dianalogikan bahwa tiap-tiap pemustaka seolah-olah adalah perpustakaan digital itu sendiri dimana proses harvesting dari metadata sudah dilakukan dan dikelola otomatis melalui sistem iJakarta.

2. Digital rights management.

iPusnas, dalam release yang dituliskan di website resmi Perpusnas disebutkan memiliki konsep Digital Rights Management (DRM). “…Konten digital terkait dengan Digital Right Manajemen (DRM) yaitu mengatur siapa yang membaca, apa yang dibaca, kapan dibaca, bagaimana membacanya, berapa banyak bisa dibaca, dan variabel lainnya. Salah satu yang penting membuat DRM adalah sekuriti, dimana dalam mengakses konten digital perlu dibuat enkripsi atau reader. Nantinya koleksi full text  yang telah diindex dalam IOS dapat ditampilkan dalam iPUSNAS sepanjang diijinkan oleh penerbit, ataupun perpustakaan yang telah bergabung dapat dibuatkan IPustaka…”

Digital rights management sendiri menurut Subramanya (2006) bertujuan menciptakan sebuah kerangka kerja (framework) yang terdiri dari kebijakan, teknik dan perangkat dalam proses pemanfaatan konten digital. Lebih lanjut, DRM bagi pengarang, penerbit dan pembaca konten digital membawa perspektif sebagai berikut “…it facilitates the creator to specify the desired ownership rights of the content. It enables the producer to derive appropriate metadata from the content and specify the producer’s rights. It allows the consumer to specify the desired content and the various options in the use of content. It also allows the producer to monitor the content usage and track payment information…

Adalah suatu hal yang penting bahwa konten digital, termasuk di dalamnya adalah e-book, bahwa pengarang tetap mendapatkan manfaat dari hasil karyanya yang dengan demikian menjamin bahwa pengarang tetap produktif. Kemudahan dalam pembayaran royalti dan pembelian buku oleh perpustakaan (dalam hal ini adalah perpustakaan digital) akan memberikan rasa aman bagi pembaca dalam mengakses informasi karena sudah ada jaminan bahwa buku yang dibacanya diperoleh dari sumber dan cara yang sah/legal.

3. Buku dipinjamkan, bukan dimiliki.

Jika kita melakukan peminjaman buku menggunakan aplikasi iJakarta dan iPusnas, maka e-book tersebut akan diunduh ke dalam gawai kita dengan sebuah format tertentu, dalam hal iPusnas, format tersebut adalah ePub. Sebagai peminjam umum, biasanya kita akan diberi waktu membaca selama 2 hari. Selama 2 hari tersebut, e-book tertentu akan bisa kita akses dan kita baca baik kita dalam kondisi daring (online) maupun luring (offline). Apabila telah melewati 2 hari, maka akses kita kepada e-book tersebut sudah berakhir. Dengan demikian, bahwa baik pada iJakarta maupun iPusnas, konsep perpustakaan sebagai sarana peminjaman buku sudah diterapkan dengan benar. Hal ini yang tentu saja membedakan antara konsep perpustakaan digital dan toko buku online.

Dari paparan tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa baik iJakarta maupun iPusnas adalah sebuah gagasan baru dalam perpustakaan digital yang memenuhi kualifikasi dan sudah sesuai dengan konsep-konsep sebagai perpustakaan digital sepenuhnya.

Daftar Pustaka

Arms, William Y. (2000). Digital Libraries. The MIT Press.

Ida F. Priyanto. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Universitas Gadjah Mada.

Indonesia One Search (IOS) dan iPusnas sebagai layanan digital terkini Perpustakaan Nasional RI. (2016, Aug 2). Retrieved March 2, 2017 from http://dev.perpusnas.go.id/indonesia-one-search-ios-dan-ipusnas-sebagai-layanan-digital-terkini-perpustakaan-nasional-ri/

Mikhael Tardas. (2015). iJakarta: Perpustakaan Digital berbasis Social Media. Retrieved March 1, 2017 from http://www.bpadjakarta.net/index.php/component/content/article/48-berita-bpad/604-ijakartaperpustakaanberbasissocialmedia

Noval Kurniadi. (2016). iJakarta, antara Kebanggaan dan tantangan. Retrieved March 1, 2017 from http://www.kompasiana.com/nkurniadi/ijakarta-antara-kebanggaan-dan-tantangan_57d18e94aa23bd5151eb0dac

Pelangi Karismakristi. (2016, Oct 13). Ayo Baca Buku via Aplikasi iPusnas, Gratis!. Retrieved March 2, 2017 from http://news.metrotvnews.com/peristiwa/Dkqjn4RK-ayo-baca-buku-via-aplikasi-ipusnas-gratis

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Lembaran Negara RI tahun 2007, Nomor 129. Sekretariat Negara. Jakarta

Subramanya, S.R. & Yi, B.K. (2006). Digital Rights Management. IEEE Potentials, 25(2), 31-34. doi: 10.1109/MP.2006.1649008

Suleman, Hussein & Fox, Edward A. (2001). A Framework for Building Open Digital Libraries. D-Lib Magazine, 7(12). doi: 10.1045/december2001-suleman

Perpustakaan digital: sebuah sejarah singkat

Perpustakaan digital yang kita kenal saat ini diinspirasi oleh beberapa ilmuwan mulai pada awal abad ke-20. Artikel ini akan mengungkap beberapa milestone dalam proses penemuan konsep Perpustakaan Digital.

Bagaimana para ilmuwan dahulu membayangkan “perpustakaan digital”

Paul Otlet dalam bukunya Trait de Documentation (1934) mengemukakan “..buku-buku dan informasi terletak di sebuah gedung yang besar, dengan jaringan telepon atau jaringan tanpa kabel sebagai bagian dari sarana untuk memasukkan pertanyaan dari pembaca, serta ada layar untuk menampilkan buku-buku dan informasi dari gedung lain..” Konsep dari Otlet adalah sebuah versi microphotographic dari sebuah buku yang mana foto tersebut dapat diperbesar. Hal ini mirip dengan konsep e-book yang kita kenal kemudian, dimana sebuah karya tulis bisa dibuat dalam 2 versi, yakni buku tercetak dan versi electronik book (e-book).

Vannevar Bush dalam As We May Think (1945) mengungkapkan keprihatinannya atas suatu kejadian dimana konsep Mendel mengenai genetika “hilang” selama satu generasi karena publikasi ilmiahnya tidak sampai kepada kalangan yang mampu mengembangkan penemuan tersebut secara lebih lanjut. Bush menyebut bahwa itu bukan karena publikasi yang melampaui minat orang-orang pada masa itu terhadap pengetahuan, namun lebih kepada ketidakmampuan generasi saat itu untuk mengelola dan mengambil manfaat dari publikasi-publikasi ilmiah tersebut. Menurutnya, supaya publikasi tersebut bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, ia harus dikembangkan terus menerus, disimpan dan yang paling utama haruslah didiskusikan lebih lanjut (consulted).

Karena pada saat itu belum ada perangkat komputer, maka dalam tulisan tersebut Bush mengusulkan sebuah konsep yang berupa sebuah alat yang ia sebut sebagai Memex. Memex sebagai prototipe alat yang merupakan ide awal perpustakaan elektronik. Memex inilah yang disebutkan oleh Colin Steele (2005) sebagai cikal bakal web yang kita kenal saat ini.

Pada tahun yang hampir bersamaan dengan munculnya konsep Memex oleh Bush, muncul juga ide mengenai microform (bentuk-bentuk mikro) yang dicetuskan oleh Fremont Rider (1944). Bentuk mikro ini diantaranya adalah microcard (kartu mikro). Dikatakannya, bentuk-bentuk mikro ini akan sama revolusionernya dengan perubahan bentuk gulungan manuskrip menjadi buku.

“Perpustakaan digital” mulai diwujudkan

Pada sekitar 2 dekade setelah munculnya imaginary machine seperti Memex, beberapa peneliti mulai merealisasikan gagasan-gagasan tersebut.

Marill (1963) seperti disebutkan oleh Licklider dalam Libraries of the Future (1965) mengemukakan bahwa terdapat 2 konsep perpustakaan yakni yang pertama, adalah konsep perpustakaan yang kita kenal saat ini yang terdiri atas koleksi dokumen dan menggunakan katalog untuk memudahkan temu kembali. Konsep kedua yaitu perpustakaan yang fungsi utamanya bukan menyediakan dokumen namun menyediakan informasi. Dalam konsep kedua ini, perpustakaan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengelola informasi. Konsep perpustakaan untuk mengelola informasi inilah yang paling mendekati gambaran kita saat ini mengenai “perpustakaan digital”. Licklider sendiri menggagas konsep “meja aktif” dimana fungsi meja berubah dari semula yang pasif menuju saling terhubung satu sama lain menggunakan kabel menjadi sebuah jaringan (procognitive utilty net).

Gagasan berikutnya datang dari Ted Nelson yang merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah “hypertext” dan “hypermedia”. Nelson menginisiasi Project Xanadu (1960) yang merupakan proyek hypertext-system yang pertama kali namun hingga saat ini tidak dapat direalisasikan karena berbagai hambatan hingga akhirnya kalah populer dengan konsep World Wide Web dari Tim Berners-Lee.

Konsep dari Xanadu sendiri sangat berbeda dengan yang kita kenal saat ini sebagai Microsoft Word, PDF bahkan Web Browser. Xanadu membayangkan sebuah interkoneksi antar dokumen yang secara visual terlihat dengan jelas. Dengan Xanadu, identitas sebuah objek menjadi terjamin karena dalam sebuah objek, data dimasukkan sekali dan tidak terhapus yang dengan demikian menjamin hak cipta dari sebuah karya.

Gambar 1. Mockup dari Xanadu

Perbedaan ini terlihat dari kritik Nelson atas ide Tim Berners-Lee dengan mengatakan:

The World Wide Web took part of our concept, the “hyperlink” (we called it the jump-link, since you can’t see where you’re going), and left out the visible interconnections (which would allow you to see where you’e going). In his 1989 proposal for the World Wide Web, Tim Berners-Lee said:

There are few products which take Ted Nelson’s idea of a wide “docuverse” literally by allowing links between nodes in different databases. In order to do this, some standardisation would be necessary.*

* http://www.w3.org/History/1989/proposal.html

The standardization he allowed in his document format only allowed jump-links, with no visible bridges between them.

Nelson dalam halaman webnya mengatakan “.. banyak yang menyangka bahwa World Wide Web didasarkan pada ide saya. Ide saya sangatlah berbeda.”

Namun demikian ada hal menarik yang diungkapkan oleh Noah Wardrip-Fruin dalam makalahnya berjudul Ted Nelson, Copyright and Literary Machines (ca. 1990). Dalam makalah tersebut, ia membandingkan konsep Xanadu dengan konsep Web seperti yang kita kenal saat ini. Menurutnya konsep Xanadu dianalogikan sebagai sebuah toko buku dimana untuk mengakses informasi diperlukan micropayment. Sedangkan dengan Web, harapan kita akan sebuah “perpustakaan” menjadi kenyataan. Yang artinya, untuk mengakses informasi, kita hanya perlu meminjam apabila tidak akan membeli informasi tersebut.

Konsep perpustakaan digital saat ini

Tim Berners-Lee dalam Information Management: A Proposal (1989) mengungkapkan kekhawatiran yang mirip dengan yang dikemukakan Vannevar Bush pada tahun 1945, yaitu bahwa dengan banyaknya hasil penelitian di CERN dan karyawan dengan turnover rate yang tinggi, hasil-hasil penelitian disana tidak dapat dengan mudah dilacak keberadaannya. Ia mengusulkan sebuah konsep yang terinspirasi dari hypertext-nya Ted Nelson untuk sebuah imaginary system dimana seluruh hasil penelitian di CERN dikelola dan dapat diakses oleh seluruh karyawannya tanpa sekat-sekat hirarki organisasi.

 

Dalam perkembangannya, interaksi antara World Wide Web (WWW) dengan kebutuhan masyarakat untuk mengakses informasi yang tersedia di dalam WWW menjadikan sebuah Search Engine sebagai bagian tak terpisahkan. Search engine menemukan momentumnya pada era Google yang dikembangkan Sergey Brin dan Larry Page pada akhir 1990an. Dalam konteks perpustakaan, penggabungan antara informasi dengan media pencarian informasi menjadi terminologi seperti yang kita kenal sebagai Perpustakaan Digital.

Ada beragam konsep perpustakaan digital yang dipengaruhi oleh dari siapa konsep tersebut berasal. Namun disini kita hanya ambil dari satu konsep saja yaitu yang berasal dari DELOS manifesto. Candela, et.al. dalam Setting the foundations of Digital Libraries: The DELOS Manifesto (2007) mengatakan bahwa Perpustakaan Digital mewakili titik temu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, termasuk manajemen data, temu kembali informasi, ilmu perpustakaan, manajemen dokumen, sistem informasi, jejaring web, pengolahan citra, kecerdasan buatan, interaksi manusia dan komputer serta kurasi digital.

Dengan perpustakaan digital inilah, keinginan manusia sejak awal abad ke-20 untuk mengelola ledakan informasi dalam sebuah tatanan teknologi mulai menemukan bentuknya. Perpustakaan digital bukan hanya sebuah repositori pasif, namun interaktif yang menyatu dengan pengelolaan referensi, pengelolaan multimedia, pengelolaan sitasi, publikasi, peer reviewing, dan yang tidak kalah pentingnya adalag bagaimana berbagai karya tersebut tetap tersimpan selama beberapa waktu ke depan untuk ditemukan kembali oleh generasi mendatang. Hal ini akan berujung pada pertanyaan sederhana: konsep penyimpanan (storage) macam apakah yang memungkinkan hal ini terjadi?

 

Daftar pustaka:

Bush, Vannevar. (1945). As We May Think. Atlantic Monthly.

Candela, L. et al. (2007). Setting the foundations of digital libraries: The DELOS Manifesto. D-Lib Magazine, 13(3/4). Retrieved from http://www.dlib.org/dlib/march07/castelli/03castelli.html

Curriculum Vitae: Theodor Holm Nelson, Ph.D. (n.d.). Retrieved from http://hyperland.com/TNvita

Hypertext. (n.d.) Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Hypertext

Information Management: A Proposal. (1989). Retrieved from https://www.w3.org/History/1989/proposal.html

Licklider, J.C.R. (1965). Libraries of the Future. The MIT Press.

Nelson, Ted. (1987). Literary Machines. Retrieved from http://www.tcnj.edu/~robertso/readings/nelson-literary-machines.pdf

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Universitas Gadjah Mada.

Project Xanadu. (n.d.) Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Project_Xanadu

Rayward, W. Boyd (ed.). (1990). International Organisation and Dissemination of Knowledge: Selected Essay of Paul Otlet. Elsevier.

Steele, Colin. (2005). No Easy Rider? The Scholar and the Future of the Research Library, by Fremont Rider: A Review Article. The Journal of Librarianship and Information Science, Vol 37(1) 2005

Ted Nelson Discovers Hypertext. (n.d.). Retrieved from http://www.livinginternet.com/w/wi_nelson.htm

The Xanadu Parallel Universe, Visibly Connected Pages and Documents for a new Kind of Writing. (n.d.). Retrieved from http://xanadu.com/xUniverse-D6

Vassar Miscellany News. (February 3, 1965). Retrieved from http://faculty.vassar.edu/mijoyce/MiscNews_Feb65.html

Wardrip-Fruin, Noah. (s.a.). Ted Nelson, Copyright & Literary Machines. Retrieved from http://dc-mrg.english.ucsb.edu/conference/CNCSC/multimedia/documents/wardrip-fruin.pdf