Bibliotheca Alexandrina, sebuah perjalanan virtual

Bibliotheca Alexandrina (Bibalex) dibangun di atas situs megah yang dulunya adalah pelabuhan kuno Alexandria. Perpustakaan 11 lantai ini dapat diisi 4 juta jilid buku, dan dapat ditingkatkan hingga 8 juta dengan mengefisienkan penyimpanannya. Selain perpustakaan, Bibalex juga mempunyai fasilitas budaya dan pendidikan lainnya termasuk planetarium, museum, sekolah ilmu informasi, dan fasilitas konservasi. Ditandai dengan bentuk melingkar yang miring, bangunan ini memiliki diameter 160 meter, tingginya mencapai 32 meter dan menghunjam 12 meter ke dalam tanah. Plaza terbuka dan kolam renang mengelilingi bangunannya, serta terdapat jembatan penyeberangan yang menghubungkan kota Universitas Alexandria di dekatnya (Snohetta.com).

Bibalex disimbolkan sebagai kebangkitan perpustakaan kuno Alexandria yang didirikan oleh Alexander Agung sekitar 2300 tahun yang lalu hancur seabad kemudian. Perpustakaan Alexandria baru memiliki desain kontemporer yang bermanfaat bagi mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum. Dengan konsep bentuk lingkaran besar di samping pelabuhan Aleksandria, akan mengingatkan kita pada sifat siklus pengetahuan, yaitu fleksibel sepanjang masa. Bangunannya yang berkilau dan atap yang landai mengenangkan pada mercusuar Alexandria kuno dan pada masa kini akan menjadikan kota memiliki simbol baru untuk belajar dan budaya (Snohetta.com)

Sebagai perpustakaan modern yang diresmikan pada tahun 2002, akan kita lihat bagaimana desain perpustakaan ini jika dibandingkan dengan parameter yang digunakan oleh Ida F. Priyanto (2017):

  1. General trend in library, yaitu bahwa all library spaces are learning spaces; fewer physical resources; emptying out shelves; flexibility and modularity; collaboration and comfort; self-services; food, drink, nap; makerspace and integration with other services; serta e-everything
  2. New factor: the shape of things; finding your way; green facilities; service flexibility; serta technology-enabled

Tidak setiap parameter akan dibahas, namun hanya pada garis besarnya saja dan hanya akan diamati jika terdapat keterangan yang bisa dibaca dari website resmi Bibalex maupun website lain yang terkait.

Ruangan

Ruangan perpustakaan terutama dibagi menjadi ruangan untuk koleksi dan ruang baca. Keseluruhan area Bibalex memiliki luas 80.000 meter persegi yang 20.000 meter persegi diantaranya dipakai sebagai ruang baca. Ruang baca ini terdiri dari 7 lantai dan mampu menampung 2000 pengunjung dan diklaim merupakan (ruang baca) yang terluas di dunia. Dari hal ini saja menunjukkan bahwa Bibalex memberikan prioritas ruang bagi pembacanya. Tentu saja terlepas dari kontroversi bahwa jumlah koleksinya dinilai terlalu sedikit dan memerlukan waktu 80 tahun untuk memenuhi keseluruhan gedung dengan buku (Wikipedia). Koleksi buku Bibalex sendiri disebutkan terletak di bawah ruangan baca (Archdaily). Selain itu, Bibalex juga memiliki 200 ruangan khusus untuk para akademisi dan ruang untuk kolaborasi yang disediakan disini adalah Conference Center yang diresmikan pada tahun 1991, yaitu 11 tahun sebelum diresmikannya Bibalex. Pada akhirnya, Conference Center menjadi bagian dari Bibalex.

Koleksi

Pada dasarnya Bibalex terdiri dari perpustakaan utama yang ditunjang oleh 6 perpustakaan khusus yang meliputi perpustakaan Multimedia dan Seni, perpustakaan Taha Husein (untuk penyandang tuna netra dan tuna rungu), perpustakaan anak-anak, perpustakaan remaja, Exchange and Archive section serta Rare Book section. Satu perpustakaan khusus ditambahkan lagi setelah menerima sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Masing-masing perpustakaan khusus ini memiliki website dan kegiatan yang dikelola sendiri-sendiri.

Meskipun diklaim mampu menampung 8 juta buku, namun data dari beberapa sumber menyebutkan koleksi buku pada awal pendiriannya hanya mencapai 500.000 buku dan ditambah 500.000 buku lagi sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Di laman resminya, Rare Book section Bibalex memiliki koleksi terdiri dari koleksi buku langka, 7000 peta, dan koleksi khusus. Bagian ini berisi lebih dari 15.000 buku langka, yang tertua tahun 1496, dan 700 majalah (54.000 terbitan) serta 66.000 buku dari koleksi khusus. Selain itu terdapat koleksi pemenang Nobel sastra sumbangan dari Ratu Silvia (Swedia) dan Ratu Sonya (Norwegia).

Koleksi digitalnya meliputi 40.000 tesis dari perguruan tinggi di Mesir, database yang dilanggan, koleksi digital Science Supercourse, The Alexandria Project, Eternal Egypt, Beacon for Freedom of Expression, President Gamal Abdel Naser Collection, dan Online Access to Consolidated Information on Serials (OACIS).

Selain koleksi perpustakaan, Bibalex juga memiliki 4 museum yang terletak satu lokasi dengan perpustakaan. Museum tersebut adalah museum Anwar Sadat, museum manuskrip, museum benda-benda antik, dan museum sejarah sains. Yang menarik, pada museum Anwar Sadat, disajikan video dengan total durasi 12 jam sumbangan dari televisi Mesir mengenai kehidupan Anwar Sadat. Sedangkan museum benda antik, koleksinya didapatkan pada waktu proses pembangunan (ekskavasi dan konstruksi) perpustakaan dan di lokasi itu juga.

Teknologi

Teknologi merupakan bagian pendukung dari perpustakaan yang mana di Bibalex terdapat beberapa teknologi maju yang akan direview sedikit disini.

  1. Culturama

Merupakan semacam bioskop dengan 9 layar membentuk pemandangan panoramik 180o. Culturama menyajikan rangkuman sejarah Mesir yang merentang sepanjang 5000 tahun. Menariknya, gambar yang disajikan bersifat interaktif yang mana apabila diklik oleh pemateri, maka akan tampil detail dari sebuah presentasi yang dibahas.

  1. Planetarium

Merupakan planetarium modern berbasis IMAX yang dilengkapi dengan proyeksi full-dome. Dalam planetarium ini seolah kita menjelajahi alam semesta, membawanya kita begitu dekat sehingga merasa seolah-olah terbang melalui ruang dan waktu. Planetarium juga menawarkan pertunjukan live yang disajikan oleh para astronom.

  1. Kerjasama dengan Internet Archive

Bibalex melakukan kerjasama dengan Internet Archive sebagai mirror site atau backup site dari server Internet Archive di San Francisco. Internet Archive sendiri mengumpulkan arsip digital seluruh website di dunia mulai tahun 1996. Hingga saat ini, Bibalex mempunyai server penyimpanan backup Internet Archive sebesar 4,9 Peta Byte (4,9 juta Giga Byte). Selain arsip web, server Inernet Archive di Bibalex juga digunakan untuk menyimpan koleksi hasil digitisasi Bibalex sendiri.

  1. Teknologi lain yang disajikan di Bibalex termasuk Science Supercourse Project (kerjasama dengan University of Pittsburgh), Supercomputer cluster dengan performa 11,8 TeraFlops serta Virtual Immersive Science and Technology Applications (VISTA)

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil dari paparan di atas:

  1. Ruang baca merupakan bagian utama dari Bibalex, dan bukannya koleksi. Hal ini menunjukkan beberapa hal yaitu sudah bergesernya peran perpustakaan Bibalex dari collection-centric ke paling tidak generasi keempat sebagai media pembelajaran yang terintegrasi. Hal lainnya adalah adanya kesulitan dalam memperoleh koleksi, entah karena masalah dana atau yang lainnya, sehingga Bibalex kemudian mengalihkan perhatiannya pada koleksi digital sekaligus menggandeng Internet Archive dan berbagai institusi lain untuk pengembangan koleksi non cetak.
  2. Jika kita amati sekilas, Bibalex lebih menyukai kategorisasi perpustakaannya ke dalam tema-tema besar misalnya perpustakaan anak-anak, remaja, book lover, akademisi, dst. Hal ini menunjukkan keinginan untuk mendekatkan perpustakaan ke masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami klasifikasi semisal DDC untuk menglasifikasi koleksinya.
  3. Bibalex memfasilitasi penyandang disabilitas dengan tidak hanya dengan ruang atau corner khusus, tetapi bahkan perpustakaan khusus. Hal ini menunjukkan keberpihakan yang baik kepada pemustaka yang kurang beruntung.
  4. Integrasi Bibalex dengan museum, arsip, planetarium, berbagai teknologi dan pusat pembelajaran, bahkan “penitipan” anak (daycare) mampu menciptakan suasana perpustakaan tidak hanya sebagai tempat koleksi buku namun benar-benar sebagai wahana belajar bagi masyarakat dari berbagai segmen usia.

 

Daftar Pustaka

AD Classics: Bibliotheca Alexandrina / Snøhetta. (February 3, 2015). Retrieved March 31, 2017 from http://www.archdaily.com/592824/ad-classics-bibliotheca-alexandrina-snohetta

Bibliotheca Alexandrina. (n.d.). Retrieved March 31, 2017 from http://snohetta.com/project/5-bibliotheca-alexandrina

Bibliotheca Alexandrina. (March 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikipedia.org/wiki/Bibliotheca_Alexandrina

Bibliotheca Alexandrina: The Great Library of Alexandria Reborn?. (March 27, 2013). Retrieved April 1, 2017 from http://bookriot.com/2013/03/27/critical-linking-march-27th-2013/

Ida Fajar Priyanto. (2017). Library Showcase dan Desain Perpustakaan: Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan sesi ke-5. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Library of Alexandria. (February 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikiarquitectura.com/building/library-of-alexandria/

http://bibalex.org/en/default

Upaya peningkatan kualitas perpustakaan melalui pemeringkatan dan akreditasi

Ibarat persaingan dalam dunia bisnis, perpustakaan pada saat ini dituntut untuk bersaing meningkatkan kualitas supaya tidak ditinggalkan oleh pembacanya. Hal ini dikarenakan perpustakaan sebagai lembaga preservasi sekaligus penyampai informasi kepada masyarakat harus survive sehingga koleksi-koleksinya tidak hilang ditelan zaman. Model peningkatan kualitas ini bisa melalui pemeringkatan maupun dalam konteks perpustakaan di Indonesia, melalui proses akreditasi. Upaya-upaya ini seringkali diiringi dengan pemeringkatan sehingga antar perpustakaan bisa melakukan benchmarking dengan perpustakaan yang sejenis dengannya serta memperbaiki pada bagian apa perpustakaan tersebut harus meningkatkan layanannya.

Pemeringkatan perpustakaan di luar negeri

Di luar negeri, ada beberapa negara yang memiliki metode dalam memberikan peringkat bagi perpustakaannya. Di sini akan kita singgung sedikit diantaranya yang terutama akan kita lihat dari sisi metodologi yang digunakan. Metode-metode yang disajikan disini belum tentu merupakan yang terbaik, namun paling tidak bisa memberikan gambaran apa saja penilaian perpustakaan pada negara-negara yang sudah selangkah lebih baik dalam pengelolaan perpustakaannya.

  1. BIX (bibliotheksindex)

BIX merupakan sebuah usaha benchmarking perpustakaan di Jerman yang meliputi perpustakaan umum dan perpustakaan akademik yang diinisiasi sejak tahun 1999 oleh Asosiasi Perpustakaan Jerman dan Yayasan Bertelsmann. Tujuan dari BIX adalah untuk secara efektif menggambarkan kinerja perpustakaan dengan data statistik, yang dengan demikian membantu komunikasi antara perpustakaan, penyandang dana dan pembuat kebijakan melalui transparansi pelayanan dan memungkinkan perpustakaan untuk menilai kekuatan dan kelemahan mereka dan menunjukkan peluang untuk perbaikan kualitas.

Untuk menilai perpustakaan umum dan perpustakaan akademik. BIX menekankan pada 4 dimensi target, yaitu pada pelayanan, penggunaan, efisiensi dan pengembangan. Detail masing-masing dimensi target pada perpustakaan akademik dan perpustakaan publik adalah sebagai berikut:

Perpustakaan akademik:

  • Pelayanan: tempat duduk, staf, pengeluaran (expenditure) perkapita pemustaka, pengeluaran untuk koleksi elektronik, jam buka per minggu
  • Penggunaan: jumlah kunjungan riil, jumlah kunjungan maya (virtual), pelatihan pemustaka, ketersediaan media
  • Efisiensi: pengeluaran perpustakaan per peminjam, rasio pengeluaran untuk pembelian koleksi dibandingkan honor staf, produktifitas alur kerja (pemrosesan media, peminjaman dan interlibrary loan)
  • Pengembangan: pelatihan untuk staf, prosentasi peralatan yang diperoleh dari hibah.

Perpustakaan publik:

  • Pelayanan: koleksi per kapita, space untuk pengunjung, jumlah staf, jumlah komputer, layanan internet, acara-acara pendukung
  • Penggunaan: kunjungan perpustakaan per kapita, kunjungan maya perpustakaan, peminjaman per kapita, pergantian koleksi, total jam buka, jumlah titik layanan
  • Efisiensi: anggaran untuk pembelian, jam kerja staf per jam buka layanan, jumlah kunjungan per jam buka, pengeluaran per kunjungan pemustaka
  • Pengembangan: rasio pembaruan koleksi, jumlah pelatihan lanjutan untuk staf, investasi modal per kapita
  1. LJ Index

The LJ Index adalah sistem pemeringkatan di Amerika Serikat yang dirancang untuk mengenali dan mempromosikan perpustakaan umum Amerika, untuk membantu mengumpulkan data statistik perpustakaan nasional, dan untuk mendorong perpustakaan melakukan evaluasi diri. LJ Index ini didasarkan pada data laporan yang dikumpulkan oleh perpustakaan publik di Amerika yang dikumpulkan oleh Institute of Museum and Library Services (IMLS). LJ Index dihitung dari luaran statistik per kapita dari layanan perpustakaan sebagai berikut:

  1. Kunjungan ke perpustakaan
  2. Sirkulasi
  3. Program perpustakaan
  4. Penggunaan layanan internet,

dan sejak tahun 2016, parameter penghitungan ini ditambahkan dengan sirkulasi pada koleksi elektronik.

Indeks ini mengukur bagaimana kuantitas layanan yang dipilih yang disediakan oleh perpustakaan dibandingkan dengan perpustakaan dalam kelompok sejenis (peer group). Untuk masing-masing perpustakaan, masing-masing empat statistik keluaran diukur terhadap rata-rata untuk kelompok perpustakaan yang sejenis. Karena hanya mengukur kuantitas, index ini tidak sampai menghitung perpustakaan dalam konteks kualitas, keunggulan, efektivitas, nilai dan kesesuaian layanan perpustakaan. Demikian pula, indeks tidak menunjukkan apakah tingkat output layanan perpustakaan sesuai untuk masyarakat perpustakaan, atau sejauh mana layanan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. LJ Index mendorong perpustakaan untuk menganalisis data operasional dan komunitas demografi mereka sendiri secara lokal.

  1. Hennen’s American Public Library Ratings (HAPLR)

HAPLR index memiliki 15 faktor dalam memberikan rating bagi perpustakaan di Amerika Serikat. Index tersebut memiliki fokus pada sirkulasi, staf perpustakaan, koleksi, pelayanan referensi dan sumber pendanaan (funding). Pada tiap-tiap faktor memiliki bobot yang berbeda, yaitu;

  1. Berbobot 3, pada: pengeluaran (expenditure) per kapita, harga per sirkulasi, kunjungan per kapita.
  2. Berbobot 2, pada: prosentase anggaran koleksi, pengeluaran untuk koleksi per kapita, jumlah staf tetap per 1000 pemustaka, pergantian koleksi, sirkulasi per jam kerja staf tetap, sirkulasi per kapita, referensi per kapita, sirkulasi per jam.
  3. Berbobot 1, pada: jumlah koleksi periodikal per 1000 penduduk, volume per kapita, jumlah kunjungan per jam, jumlah sirkulasi sekali kunjungan.

Namun, amat disayangkan, index HAPLR ini terakhir kali mengeluarkan rating adalah pada tahun 2010 seperti tertera dalam laman webnya.

Selain berbagai metode di atas, masih ada satu lagi yang cukup menarik adalah penerapan ISO 11620:2014 mengenai Information and documentation — Library performance indicators. Namun kami tidak bisa mendapatkan referensi untuk standar ISO ini sehingga tidak dibahas disini.

Akreditasi perpustakaan di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, upaya peningkatan kualitas perpustakaan dilakukan dengan usaha akreditasi. Akreditasi menurut O’Brien (2010) dalam Sulistyo Basuki (2013) adalah proses jaminan mutu (yang) dikendalikan oleh standar, kebijakan dan prosedur. Untuk akreditasi perpustakaan perguruan tinggi, Sulistyo Basuki (2013) menyebutkan bahwa yang berwenang melakukan akreditasi berdasarkan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Dalam akreditasi perguruan tinggi ini, komponen yang diakreditasi beserta bobot masing-masing adalah sebagai berikut:

No. Urutan komponen Jumlah indikator kunci Bobot tiap indikator kunci Skor minimal Skor maksimal
1 Layanan dan kerjasama 10 3 30 150
2 Sumber Daya Manusia 13 2 26 130
3 Koleksi 12 2 24 120
4 Sarana & Prasarana 19 1 19 95
5 Sumber Saya Elektronik 10 1.5 15 75
6 Gedung dan Ruang Perpustakaan 12 1 12 60
7 Anggaran 5 2 10 50
8 Pengolahan bahan 5 2 10 50
9 Organisasi Perpustakaan 4 1.5 6 30
90 150 750

Tabel komponen penilaian akreditasi perpustakaan (Sulistyo Basuki, 2013)

Akreditasi merupakan upaya yang sangat baik dari dunia kepustakawanan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas layanan. Namun demikian, menurut Sulistyo Basuki, masih ada sedikit catatan tentang akreditasi ini yaitu bahwa akreditasi di Indonesia masih dilakukan oleh Perpusnas dan BAN-PT (dalam konteks akreditasi program studi dan institusi), sementara menurutnya yang lebih tepat melakukan akreditasi adalah asosiasi profesi sebagaimana sudah dilakukan di negara lain.

 

Daftar Pustaka

BIX-Bibliothekindex: Academic Libraries. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/indikatoren/wissenschaftlichebibliotheken.html

BIX-Bibliothekindex: BIX Indicators for Public Libraries. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/indikatoren/oeffentlichebibliotheken.html

BIX-Bibliothekindex: General Information. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/general-information.html

Ida Fajar Priyanto. (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan, minggu ke-4. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

ISO 11620:2014 – Information and documentation — Library performance indicators. (n.d.). Retrieved March 17, 2017 from https://www.iso.org/standard/56755.html

Rating Methods. (2010). Retrieved March 18, 2017 from http://www.haplr-index.com/rating_methods.htm

Sulistyo Basuki. (2013, October 27). Akreditasi Perpustakaan Perguruan Tinggi. Retrieved March 18, 2017 from https://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/27/akreditasi-perpustakaan-perguruan-tinggi

The LJ Index: Frequently Asked Questions (FAQ). (n.d.). Retrieved March 17, 2017 from http://lj.libraryjournal.com/stars-faq

 

Framework dalam mendesain User Experience (UX) di Perpustakaan

Setelah melampaui generasi pertama dan kedua perpustakaan, yakni yang berorientasi koleksi dan pemustaka, maka pustakawan dihadapkan pada tantangan baru yakni bagaimana memanjakan para pemustaka. Kebutuhan pemustaka apalagi memasuki abad 21 yang dipenuhi perkembangan teknologi memunculkan konsep User Experience dalam perpustakaan, yaitu bagaimana pemustaka merasakan pengalaman (experience) baru ketika mengunjungi perpustakaan (perpustakaan generasi ke-3). Pengalaman ini, sesuai konsep perpustakaan sebagai tempat belajar, akan semakin memberikan nilai lebih apabila dihubungkan dengan konsep generasi ke 4 perpustakaan sebagai tempat bagi connected and collaborative learning experience.

Konsep User Experience (UX) pada awalnya berasal dari keilmuan komputer dalam hal interaksi manusia dan komputer (human-computer interaction). Namun karena hal ini juga bisa diterapkan pada perpustakaan, yang mana perpustakaan juga selalu berkembang mengikuti model belajar pemustakanya, maka UX juga menjadi tren tersendiri di perpustakaan. Untuk mendesain UX yang sesuai kebutuhan, maka proses yang diterapkan yakni pertama mengenal tren model belajar saat ini, kedua menganalisis dan mengonsep kebutuhan pemustaka dengan panduan (framework) dari ahlinya, dan ketiga mewujudkan konsep tersebut ke dalam perpustakaan dan melihat reaksi pemusaka. Yang akan kita bahas dalam artikel ini hanya pada 2 proses pertama.

Pertama, terkait dengan tren pembelajaran saat ini dalam konteks perpustakaan, maka ada beberapa tren pembelajaran yang bisa diambil dari artikel Peter Fernandez (2017), diantaranya:

  1. Personalized learning tools and techniques, meet individual needs.

Setiap pelajar/mahasiswa/pemustaka meskipun secara garis besar memiliki kecenderungan yang bisa dikategorisasi, tetap saja setiap mereka memiliki kebutuhan spesifik yang berbeda dengan orang lain. Kebutuhan inilah yang harus difasilitasi oleh perpustakaan. Kebutuhan ini bisa berupa ruangan yang sunyi (silent), area kerja (workspace) yang leluasa, ataupun periferal teknologi yang dibutuhkan misalnya stop kontak listrik maupun charger untuk laptop, smartphone, dst.

  1. Massive open online course

Semakin banyaknya website yang men-share materi kuliahnya secara online, juga memberikan tantangan bagi perpustakaan untuk berbenah. Beberapa bahkan memberikan sertifikat bagi yang sudah menyelesaikan materi dan lulus ujian online. Perpustakaan bisa mengantisipasinya dengan memberikan layanan sejenis yang ada di dalam perpustakaan. Misalnya saja dengan mengumpulkan materi kuliah dari dosen dan bisa diakses secara lokal di dalam perpustakaan kampus.

  1. Formal, informal and lifelong learning

Banyak pemustaka yang memiliki keinginan belajar yang baik dan disertai kemampuan untuk belajar mandiri. Misalnya dengan melihat tutorial di Youtube, menyelesaikan pekerjaan dengan software open source, berinteraksi dengan para pakar melalui blog dan media sosial, dst. Mereka ini tidak hanya menganggap bahwa belajar hanya di ruang kelas tapi bisa dimana saja. Disinilah peran perpustakaan untuk memfasilitasi model belajar seperti ini.

Kedua, dengan melihat beberapa tren pembelajaran tadi, kita kemudian akan merancang konsep perpustakaan seperti apa yang sesuai. Memang hal ini tidak mudah dan tidak langsung menyelesaikan masalah, namun paling tidak kami melihat bahwa framework untuk merancang kebutuhan (UX) tersebut sangat berkaitan dengan wawancara kepada pemustaka. Paling tidak ada 2 model yang bisa diajukan yakni dari American Association of School Librarian (2013) dan Design Thinking dari IDEO (2014).

  1. American Association of School Librarian, sebagaimana dimuat dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners

Dalam merancang kebutuhan pemustaka, disediakanlah kuesioner yang ditujukan kepada pemustaka. Hal yang penting adalah mencermati pertanyaan apa yang tepat yang mampu membuat kita menganalisis dan mengonsep desain yang pas. Beberapa contoh pertanyaan yang dijumpai dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners diantaranya:

  • Fasilias apa yang bisa disediakan oleh perpustakaan yang di kelas tidak dijumpai?
  • Apa arti kolaborasi dalam sebuah ruangan perpustakaan?
  • Firnitur apa yang diperlukan pada saat menggunakan tablet, laptop dan smartphone?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku tercetak?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku elektronik?
  • Apakah warna furnitur dan tembok perpustakaan berpengaruh? Kenapa?
  • Pada saat belajar, alat apa saja yang kamu butuhkan dengan segera?
  • Aktivitas favorit apa yang kamu kerjakan di perpustakaan?
  • Peralatan apa yang kamu butuhkan saat kamu bekerja bersama temanmu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan dalam sebuah group discussion dimana selain pustakawan dan pemustaka, juga dihadirkan orang tua murid (dalam hal perpustakaan sekolah).

Contoh desain dari buku Library Spaces for 21st-Century Learners

  1. Design Thinking

Design thinking adalah sebuah toolkit, atau mungkin juga tepat disebut dengan framework, untuk mendesain perpustakaan yang sesuai dengan konsep human-centred. Design thinking adalah toolkit yang dikembangkan oleh IDEO, sebuah perusahaan desain dengan didukung oleh Bill and Melinda Gates Foundation untuk membantu pustakawan mengenali para pemustakanya, kebutuhan-kebutuhannya, yang  tujuan akhirnya adalah sebuah desain perpustakaan yang memberikan pengalaman (experience) baru bagi pemustakanya. Design thinking seperti disebutkan dalam websitenya (http://designthinkingforlibraries.com/) terdiri dari 2 buah toolkit untuk memandu pustakawan mendesain model perpustakaannya, yaitu Toolkit Guide dan Toolkit Activities Workbook. 2 toolkit ini disertai 1 rangkuman yaitu At-a-glance Guide.

Landasan berpikir Design Thinking ini juga sebuah kuesioner dan praktek pembuatan prototipe. Berikut ini adalah gambaran konseptual Design Thinking yang diambil dari Toolkit berikut penjelasannya.

Konsep Design Thinking dari IDEO

TAHAP INSPIRATION

  1. Menantang diri sendiri untuk membuat desain
  2. Mengeksplorasi metode riset
  3. Merencanakan riset
  4. Mendokumentasikan riset

TAHAP IDEATION

  1. Menceritakan ide
  2. Mencari tema
  3. Menciptakan brainstorm
  4. Menggali gagasan-gagasan
  5. Membuat prototipe

TAHAP ITERATION

  1. Mengevaluasi gagasan-gagasan
  2. Mencari masukan dari pengguna
  3. Menjalankan mini-pilot
  4. Mengevaluasi kemajuan

 

Daftar Pustaka

American Library Association. (2013). Library Spaces for 21st-Century Learners. American Association of School Librarians.

http://designthinkingforlibraries.com/

Ida F. Priyanto. (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada.

Peter Fernandez. (2017). “Through the looking glass: envisioning new library technologies” Educational Trends that Will Impact Library Technology. Library Hi Tech News, 34(1).

 

Perpustakaan Collection-centric, dari Koleksi Konvensional ke Digital

Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.

Perpustakaan Collection-centric

Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.

Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.

Collection-centric: dari konvensional ke digital

Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.

Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.

Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.

McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA

 

Ruang kerja digital: sebuah gagasan

Mungkin sudah beberapa kali kita baca bahwa peran perpustakaan sebagai sarana pencarian ilmu mulai tergeser dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan perluasan peran perpustakaan sebagai sarana penyedia informasi, bukan hanya penyedia buku untuk dipinjamkan. Peran perpustakaan sendiri menurut kami harus diarahkan untuk tidak menentang namun searah dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ellie Wilcox dalam Ida F. Priyanto (2017) dalam konteks perkembangan e-book, bahwa semua pelayanan perpustakaan modern haruslah tetap relevan dengan pemustaka, dan bahwa e-book adalah salah satu bagian penting dalam menawarkan inovasi pelayanan, sebagaimana diinginkan oleh pemustaka dan pada saat dibutuhkan oleh pemustaka.

E-book sebagai salah satu jenis koleksi perpustakaan saat ini, utamanya banyak dilanggan atau dibeli secara perpetual oleh perpustakaan perguruan tinggi. Mahasiswa utamanya pada program pascasarjana memerlukan akses kepada e-book sekaligus juga pada e-journal. Namun koleksi elektronik dalam perkembangannya memiliki jenis kesulitan tersendiri dalam hal pengelolaannya jika dibandingkan dengan koleksi konvensional atau tercetak. Hal ini karena teknologi selalu berubah baik dari segi perangkat lunak pembaca dan pembuat dokumen elektronik, format dari dokumen elektronik serta media penyimpanan dokumen tersebut. Seperti disinyalir oleh Clifford Lynch dalam Irma Elvina (2010) bahwa “…bukan hal yang luar biasa bila orang dapat melihat dokumen tercetak yang sudah berusia 200 tahun. Di dunia tradisional banyak obyek akan survive lama sekali meski ditelantarkan. Obyek digital hanya akan survive bila orang membuat rencana dan dengan sistematis memikirkan kelangsungan hidup obyek tersebut secara berkelanjutan…”

Berdasarkan gambaran dari beberapa hal tersebut di atas, kami mencoba menggagas sebuah ide ruang kerja bagi mahasiswa pascasarjana untuk mengakses koleksi perpustakaan yang berbasis elektronik. Dalam tulisan ini, akan kami tinjau hanya dari 2 aspek, yaitu dari segi jenis koleksi dan dari segi fasilitas ruangan.

Beberapa koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi yang bisa disajikan secara online diantaranya adalah:

  1. Koleksi e-journal dan e-book perpetual. Perpustakaan perguruan tinggi biasanya melanggan e-journal dan e-book dalam bentuk database online yang diterbitkan oleh penerbit besar diantaranya Gale, ScienceDirect, ProQuest, Emerald, Ebsco, Springer, Wiley, dan seterusnya.
  2. Pada perpustakaan perguruan tinggi, skripsi, tesis dan disertasi diunggah ke dalam repositori dalam bentuk elektronik dengan menggunakan perangkat lunak seperti Eprints, Dspace, maupun perangkat lunak buatan sendiri.
  3. Pengumpulan CD, DVD, dan berbagai dokumen elektronik lainnya. CD dan DVD ini biasanya merupakan suplemen dari buku yang dibeli.
  4. Buku, manuskrip, peta yang bisa dijadikan bentuk-bentuk digital (digitized materials), serta berbagai koleksi multimedia.

Berdasarkan pengalaman kami sebagai pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, banyak dari para mahasiswa ini kurang memahami cara penelusuran informasi dalam bentuk digital tersebut, utamanya untuk e-journal dan e-book. Sehingga dalam gagasan sebuah ruang kerja ini, diperlukan petugas atau pustakawan yang siap sedia untuk membantu penelusuran informasi. Diperlukan satu area akses dimana antara pustakawan dan pemustaka jaraknya relatif dekat.

Terkait dengan skema ruangan perpustakaan, Worpole (2004) mengemukakan beberapa tren yang menurut kami beberapa diantaranya bisa diterapkan pada academic library, yaitu;

  1. Perpustakaan yang adaptif terhadap kebutuhan pemustaka diantaranya sirkulasi, akses dan jam buka yang diperpanjang.
  2. Perpustakaan menjadi tempat pertemuan pemustaka dengan mobilitas tinggi namun tetap memerlukan ruang untuk bekerja dalam waktu yang lama dan sekaligus memiliki kemudahan mengakses sumber-sumber informasi tanpa dibatasi waktu.
  3. Kebutuhan untuk belajar dalam waktu yang lama membutuhkan ketersedian sarana dan prasarana diantaranya toilet, kantin, serta ruang rekreasi yang tenang,
  4. Relasi antara perpustakaan dan pemustaka semakin mudah dijembatani melalui perangkat elektronik. Misalnya untuk booking ruang belajar, peminjaman area untuk belajar bersama melalui SMS, dan seterusnya.
  5. Perpustakaan virtual yang bisa diakses 24 jam non stop, 7 hari setiap minggu.

Pada perpustakaan Universitas Sebelas Maret, beberapa sudut baca diberikan konsep lesehan. Konsep ini berdasarkan pada budaya Jawa yang lekat dengan lesehan. Konsep desain perpustakaan utamanya pada ruang belajar harus mendukung budaya setempat. Sebagai contoh di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret di samping disediakan ruang baca konvensional dengan tempat duduk dan meja, juga disediakan area lesehan pada lokasi-lokasi dimana pengunjung bisa membaca dan mempelajari buku yang telah mereka pinjam. Carol R. Brown (2002) dalam konteks mengantisipasi teknologi dalam desain interior perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan yang direncanakan harus mengantisipasi teknologi di masa depan yang tidak kita ketahui. Perpustakaan harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memungkinkan penambahan dan pergeseran komputer dengan mudah untuk memberikan tempat pada rak buku dan tempat duduk. Perpustakaan harus mengantisipasi juga perkembangan ini dengan menggunakan biaya yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian konsep ruang kerja mahasiswa pascasarjana adalah:

  1. Sebuah ruangan tersendiri yang terpisah dari koleksi tercetak, dengan asumsi bahwa mahasiswa tersebut sudah meminjam buku dari ruangan lain dan tinggal membawanya ke ruang kerja. Ruangan juga terpisah dengan area dimana biasa terjadi kebisingan misalnya kantin, tempat pengembalian, loker, dan ruang seminar;
  2. Ruangan disekat atau dipisahkan sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, yang mana satu diantaranya pada seperangkat meja dan kursi untuk belajar mandiri, dan pada partisi ruangan lainnya adalah sebuah pojok lesehan untuk belajar bersama ataupun kegiatan kolaboratif;
  3. Perangkat kerja bisa dibagi menjadi 2, yaitu disediakan komputer sebagai Self-Access Terminal dan hanya meja saja bagi yang membawa laptop dan terdapat layar lebar untuk kegiatan kolaboratif;
  4. Sebuah meja tersendiri bagi petugas diantara kedua partisi tadi agar supaya petugas atau pustakawan bisa dengan leluasa dihubungi maupun memudahkannya berkeliling jika ada yang membutuhkan bantuan.
  5. Mahasiswa dipersilakan membawa makanan ataupun minuman secara mandiri dan menjaga kebersihan ruangan agar supaya mereka merasa nyaman bekerja dalam waktu lama.
  6. Pada ruangan ini, bisa disediakan sebuah atau beberapa buah komputer untuk mempelajari cara akses e-journal dan e-book serta untuk mempelajari beberapa tool riset seperti Mendeley, EndNote, mengakses Scopus, dan sebagainya. Perangkat ini bisa memuat simulasi video, website interaktif, maupun pendampingan oleh pustakawan.
  7. Koleksi-koleksi digital tersebut alangkah baik jika sudah dalam tersimpan dalam server lokal dan sudah dikelompokkan menurut subjek-subjek yang misalnya saja sesuai dengan program studi yang ada di perguruan tinggi tersebut. Hal ini sekaligus sebagai fungsi preservasi dokumen digital yang sudah dilanggan perpustakaan. Dengan demikian, diperlukan usaha tersendiri untuk mengunduh dan mengkategorisasikan koleksi-koleksi digital tersebut. Akses lokal ini juga merupakan usaha mendekatkan perpustakaan dengan pemustaka, utamanya untuk berkolaborasi dalam sebuah penelitian.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Elvina, Irma. (2010). Mengapa Koleksi Digital Harus Dipreservasi. Retrieved from http://irma.staff.ipb.ac.id/2010/04/07/mengapa-koleksi-digital-harus-dipreservasi/

Priyanto, Ida Fajar (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA