Hilangnya akses e-jurnal dan e-book(?) (bagian 1)

Seperti kita bisa lihat saat ini, perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan teknologi informasi sangat luas. Tidak terkecuali bidang perpustakaan, khususnya dalam cara pemustakan memperoleh informasi. Meskipun hingga saat ini kunjungan fisik ke perpustakaan akademik masih cukup tinggi, namun pola atau cara pemustaka mengakses informasi sudah berubah. Diantara perubahan itu adalah pergeseran cara membaca buku, jurnal dan berbagai referensi dari tercetak ke elektronik.

Pada posisi seperti ini, teknologi dikatakan mengganggu (disrupt) cara-cara atau budaya yang sudah mapan. Model pembacaan buku tercetak terhitung sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat sejak 500 tahun yang lalu ketika mesin cetak diciptakan oleh Gutenberg. Sehingga dikatakan bahwa teknologi informasi sebagai sarana mencari informasi menjadi “gangguan” terhadap cara-cara konvensional dan muncul istilah disruptive innovation yang diperkenalkan pertama kali oleh Clayton M. Christensen pada 1997 dalam konteks bisnis.

Salah satu fenomena disruptive technology adalah munculnya cloud storage sebagai tempat menyimpan informasi. Cloud disini tidak hanya bisa diartikan bahwa yang disimpan semata file pribadi maupun file perusahaan, namun juga karya-karya ilmiah. Penerbit jurnal ilmiah beralih dari teknologi percetakan ke teknologi cloud dengan menyediakan access as a service. Pelanggan, dalam hal ini perpustakaan, hanya diberikan hak akses terhadap jurnal tersebut. Bentuk fisik serupa CD pun tidak ada. Dalam penyediaan akses ini, ada 2 tipe akses yaitu perpetual yang mana hak aksesnya adalah selamanya, dan berlangganan yaitu hak akses hanya dimiliki sesuai periode melanggan (biasanya 1 tahun).

Dalam hal penerbit hanya memberikan layanan akses, pertanyaan yang kemudian diajukan adalah: apakah hak akses tersebut masih ada jika perusahaan melakukan merger dengan perusahaan lain atau, kemungkinan terburuknya, perusahaan tersebut bangkrut? Sebelum menjawab pertanyaan ini, bisa kita lihat beberapa kecenderungan yang terjadi pada perusahaan penyedia layanan cloud. Patrick Thibodeau (2013) dengan mengutip penelitian Gartner, mengatakan bahwa pada 2015 karena konsolidasi dan beberapa alasan lain, diperkirakan 1 dari 4 perusahaan IT top 100 dalam bidang cloud akan lenyap. Faktor penyebabnya antara lain pengguna lebih memilih perusahaan penyedia cloud yang terkenal. Hal ini akan menyingkirkan perusahaan kecil, kecuali mereka mampu bersaing dari segi harga dan fasilitas lain yang tidak disediakan perusahaan besar. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi penyimpanan (storage) sangat rentan terhadap perkembangan perekonomian.

Untuk mencegah kehilangan data pada penyedia layanan cloud yang bangkrut ataupun melakukan merger, seperti yang dialami perusahaan Nirvanix, Megacloud dan Symantec Backup Exec., Brandon Butler (2014) memberikan beberapa saran terkait data yang dimiliki pelanggan. Yang pertama dan mendasar -ia mengutip Ahmar Abbas- bahwa perencanaan penyimpanan data dalam cloud harus sudah dilakukan dari awal. Pemilihan penyedia layanan juga menentukan. Perusahaan semacam Amazon dan IBM tidak akan bangkrut dalam waktu dekat. Namun demikian, nama besar tidak selalu menjamin keamanan data. Untuk itu, konsumen harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Yang kedua, selalu mempelajari Service Level Agreement (SLA). Dengan memperhatikan SLA, pengguna bisa memahami kekurangan sistem dan dia bisa merencanakan backup di lain tempat. Ketiga, biasanya penyedia cloud selalu menggunakan perangkat lunak proprietary yang tidak selalu kompatibel dengan perangkat lunak pengguna. Untuk menghindari data tidak bisa dibaca oleh user, pelanggan harus meminta jaminan kepada penyedia layanan cloud untuk menyediakan perangkat lunak tertentu untuk bisa membaca data mereka jika penyedia cloud bangkrut tanpa perlu membeli perangkat lunak proprietary seperti yang dimiliki penyedia cloud.

Dan, bagaimana jika publisher jurnal dan buku elektronik mengalami kebangkrutan?

September 2014, perusahaan perantara yang berasal dari Belanda, Swets Information Services BV mengalami kebangkrutan (Kaitlin Mulhere, 2015). Swets menjembatani hubungan antara perpustakaan dan penerbit jurnal, sehingga pembayaran yang sudah dilakukan oleh perpustakaan tidak disampaikan kepada penerbit jurnal. Kebangkrutan tersebut mempengaruhi sekitar 100 college, 20 perpustakaan riset di Amerika Serikat serta jumlah pembayaran yang sudah mencapai sekitar US$ 12 juta yang dibayarkan oleh beberapa universitas. Perpustakaan universitas besar memiliki langganan jurnal yang sangat besar, dari 20 ribu hingga 40 ribu jurnal. Jumlah yang tidak sedikit ini tentu saja mempengaruhi mahasiswa yang menggantungkan informasi dari langganan e-jurnal. Artikel Mulhere tersebut masih menitikberatkan pembahasan hanya dari segi finansial yang dihadapi universitas dan bagaimana menangani gangguan akses dalam jangka pendek dan belum mencoba melihat lebih jauh dampak kebangkrutan layanan e-jurnal pada proses penelitian dan siklus komunikasi ilmiah serta perencanaan teknologi dalam menghadapi kejadian tersebut.

Pembahasan masalah ini kami teruskan pada bagian kedua (lanjutan) tulisan ini.

 

Daftar Pustaka

Thibodeau, Patrick. (December 11, 2013). One in four cloud providers will be gone by 2015. Retrieved Obtober 1, 2017 from https://www.computerworld.com/article/2486691/cloud-computing/one-in-four-cloud-providers-will-be-gone-by-2015.html

Butler, Brandon. (June 2, 2014). Cloud’s worst-case scenario: What to do if your provider goes belly up. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2173255/cloud-computing/cloud-computing-cloud-s-worst-case-scenario-what-to-do-if-your-provider-goes-belly-up.html

Mulhere, Kaitlin. (January 2, 2015) Journals and Money at Risk. Retrieved October 1, 2017 from https://www.insidehighered.com/news/2015/01/02/swets-bankruptcy-will-cost-libraries-time-money

Leave a Reply

Your email address will not be published.