Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.
Perpustakaan Collection-centric
Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.
Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.
Collection-centric: dari konvensional ke digital
Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.
Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.
Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.
Daftar Pustaka
Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.
Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.
McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.
Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada
Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html
Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA
Access as a service selain koleksi, lebih berkembang jika didukung oleh pustakawan yang mobile seperti menemui pemustaka, minimal memberi arahan peminjaman, memberi arahan tmpt koleksi, memberi informasi mengenai event perpustakaan hingga pendampingan kepada pemustaka, contohnya pemustaka yang kesulitan mencari sumber referensi yang cocok utk keperluan akademiknya
Klo di UNS ada layanan pelatihan literasi informasi: sivitas akademika bisa mendaftar dan nanti akan dibimbing untuk menelusuri informasi e-book dan e-jurnal yang dilanggan
Perpustakaan hybrid menawarkan koleksi beragam termasuk cetak (dalam berbagai kategori) dan digital (online dan offline).