Bibliotheca Alexandrina, sebuah perjalanan virtual

Bibliotheca Alexandrina (Bibalex) dibangun di atas situs megah yang dulunya adalah pelabuhan kuno Alexandria. Perpustakaan 11 lantai ini dapat diisi 4 juta jilid buku, dan dapat ditingkatkan hingga 8 juta dengan mengefisienkan penyimpanannya. Selain perpustakaan, Bibalex juga mempunyai fasilitas budaya dan pendidikan lainnya termasuk planetarium, museum, sekolah ilmu informasi, dan fasilitas konservasi. Ditandai dengan bentuk melingkar yang miring, bangunan ini memiliki diameter 160 meter, tingginya mencapai 32 meter dan menghunjam 12 meter ke dalam tanah. Plaza terbuka dan kolam renang mengelilingi bangunannya, serta terdapat jembatan penyeberangan yang menghubungkan kota Universitas Alexandria di dekatnya (Snohetta.com).

Bibalex disimbolkan sebagai kebangkitan perpustakaan kuno Alexandria yang didirikan oleh Alexander Agung sekitar 2300 tahun yang lalu hancur seabad kemudian. Perpustakaan Alexandria baru memiliki desain kontemporer yang bermanfaat bagi mahasiswa, peneliti dan masyarakat umum. Dengan konsep bentuk lingkaran besar di samping pelabuhan Aleksandria, akan mengingatkan kita pada sifat siklus pengetahuan, yaitu fleksibel sepanjang masa. Bangunannya yang berkilau dan atap yang landai mengenangkan pada mercusuar Alexandria kuno dan pada masa kini akan menjadikan kota memiliki simbol baru untuk belajar dan budaya (Snohetta.com)

Sebagai perpustakaan modern yang diresmikan pada tahun 2002, akan kita lihat bagaimana desain perpustakaan ini jika dibandingkan dengan parameter yang digunakan oleh Ida F. Priyanto (2017):

  1. General trend in library, yaitu bahwa all library spaces are learning spaces; fewer physical resources; emptying out shelves; flexibility and modularity; collaboration and comfort; self-services; food, drink, nap; makerspace and integration with other services; serta e-everything
  2. New factor: the shape of things; finding your way; green facilities; service flexibility; serta technology-enabled

Tidak setiap parameter akan dibahas, namun hanya pada garis besarnya saja dan hanya akan diamati jika terdapat keterangan yang bisa dibaca dari website resmi Bibalex maupun website lain yang terkait.

Ruangan

Ruangan perpustakaan terutama dibagi menjadi ruangan untuk koleksi dan ruang baca. Keseluruhan area Bibalex memiliki luas 80.000 meter persegi yang 20.000 meter persegi diantaranya dipakai sebagai ruang baca. Ruang baca ini terdiri dari 7 lantai dan mampu menampung 2000 pengunjung dan diklaim merupakan (ruang baca) yang terluas di dunia. Dari hal ini saja menunjukkan bahwa Bibalex memberikan prioritas ruang bagi pembacanya. Tentu saja terlepas dari kontroversi bahwa jumlah koleksinya dinilai terlalu sedikit dan memerlukan waktu 80 tahun untuk memenuhi keseluruhan gedung dengan buku (Wikipedia). Koleksi buku Bibalex sendiri disebutkan terletak di bawah ruangan baca (Archdaily). Selain itu, Bibalex juga memiliki 200 ruangan khusus untuk para akademisi dan ruang untuk kolaborasi yang disediakan disini adalah Conference Center yang diresmikan pada tahun 1991, yaitu 11 tahun sebelum diresmikannya Bibalex. Pada akhirnya, Conference Center menjadi bagian dari Bibalex.

Koleksi

Pada dasarnya Bibalex terdiri dari perpustakaan utama yang ditunjang oleh 6 perpustakaan khusus yang meliputi perpustakaan Multimedia dan Seni, perpustakaan Taha Husein (untuk penyandang tuna netra dan tuna rungu), perpustakaan anak-anak, perpustakaan remaja, Exchange and Archive section serta Rare Book section. Satu perpustakaan khusus ditambahkan lagi setelah menerima sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Masing-masing perpustakaan khusus ini memiliki website dan kegiatan yang dikelola sendiri-sendiri.

Meskipun diklaim mampu menampung 8 juta buku, namun data dari beberapa sumber menyebutkan koleksi buku pada awal pendiriannya hanya mencapai 500.000 buku dan ditambah 500.000 buku lagi sumbangan dari perpustakaan nasional Perancis (BNF). Di laman resminya, Rare Book section Bibalex memiliki koleksi terdiri dari koleksi buku langka, 7000 peta, dan koleksi khusus. Bagian ini berisi lebih dari 15.000 buku langka, yang tertua tahun 1496, dan 700 majalah (54.000 terbitan) serta 66.000 buku dari koleksi khusus. Selain itu terdapat koleksi pemenang Nobel sastra sumbangan dari Ratu Silvia (Swedia) dan Ratu Sonya (Norwegia).

Koleksi digitalnya meliputi 40.000 tesis dari perguruan tinggi di Mesir, database yang dilanggan, koleksi digital Science Supercourse, The Alexandria Project, Eternal Egypt, Beacon for Freedom of Expression, President Gamal Abdel Naser Collection, dan Online Access to Consolidated Information on Serials (OACIS).

Selain koleksi perpustakaan, Bibalex juga memiliki 4 museum yang terletak satu lokasi dengan perpustakaan. Museum tersebut adalah museum Anwar Sadat, museum manuskrip, museum benda-benda antik, dan museum sejarah sains. Yang menarik, pada museum Anwar Sadat, disajikan video dengan total durasi 12 jam sumbangan dari televisi Mesir mengenai kehidupan Anwar Sadat. Sedangkan museum benda antik, koleksinya didapatkan pada waktu proses pembangunan (ekskavasi dan konstruksi) perpustakaan dan di lokasi itu juga.

Teknologi

Teknologi merupakan bagian pendukung dari perpustakaan yang mana di Bibalex terdapat beberapa teknologi maju yang akan direview sedikit disini.

  1. Culturama

Merupakan semacam bioskop dengan 9 layar membentuk pemandangan panoramik 180o. Culturama menyajikan rangkuman sejarah Mesir yang merentang sepanjang 5000 tahun. Menariknya, gambar yang disajikan bersifat interaktif yang mana apabila diklik oleh pemateri, maka akan tampil detail dari sebuah presentasi yang dibahas.

  1. Planetarium

Merupakan planetarium modern berbasis IMAX yang dilengkapi dengan proyeksi full-dome. Dalam planetarium ini seolah kita menjelajahi alam semesta, membawanya kita begitu dekat sehingga merasa seolah-olah terbang melalui ruang dan waktu. Planetarium juga menawarkan pertunjukan live yang disajikan oleh para astronom.

  1. Kerjasama dengan Internet Archive

Bibalex melakukan kerjasama dengan Internet Archive sebagai mirror site atau backup site dari server Internet Archive di San Francisco. Internet Archive sendiri mengumpulkan arsip digital seluruh website di dunia mulai tahun 1996. Hingga saat ini, Bibalex mempunyai server penyimpanan backup Internet Archive sebesar 4,9 Peta Byte (4,9 juta Giga Byte). Selain arsip web, server Inernet Archive di Bibalex juga digunakan untuk menyimpan koleksi hasil digitisasi Bibalex sendiri.

  1. Teknologi lain yang disajikan di Bibalex termasuk Science Supercourse Project (kerjasama dengan University of Pittsburgh), Supercomputer cluster dengan performa 11,8 TeraFlops serta Virtual Immersive Science and Technology Applications (VISTA)

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa diambil dari paparan di atas:

  1. Ruang baca merupakan bagian utama dari Bibalex, dan bukannya koleksi. Hal ini menunjukkan beberapa hal yaitu sudah bergesernya peran perpustakaan Bibalex dari collection-centric ke paling tidak generasi keempat sebagai media pembelajaran yang terintegrasi. Hal lainnya adalah adanya kesulitan dalam memperoleh koleksi, entah karena masalah dana atau yang lainnya, sehingga Bibalex kemudian mengalihkan perhatiannya pada koleksi digital sekaligus menggandeng Internet Archive dan berbagai institusi lain untuk pengembangan koleksi non cetak.
  2. Jika kita amati sekilas, Bibalex lebih menyukai kategorisasi perpustakaannya ke dalam tema-tema besar misalnya perpustakaan anak-anak, remaja, book lover, akademisi, dst. Hal ini menunjukkan keinginan untuk mendekatkan perpustakaan ke masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami klasifikasi semisal DDC untuk menglasifikasi koleksinya.
  3. Bibalex memfasilitasi penyandang disabilitas dengan tidak hanya dengan ruang atau corner khusus, tetapi bahkan perpustakaan khusus. Hal ini menunjukkan keberpihakan yang baik kepada pemustaka yang kurang beruntung.
  4. Integrasi Bibalex dengan museum, arsip, planetarium, berbagai teknologi dan pusat pembelajaran, bahkan “penitipan” anak (daycare) mampu menciptakan suasana perpustakaan tidak hanya sebagai tempat koleksi buku namun benar-benar sebagai wahana belajar bagi masyarakat dari berbagai segmen usia.

 

Daftar Pustaka

AD Classics: Bibliotheca Alexandrina / Snøhetta. (February 3, 2015). Retrieved March 31, 2017 from http://www.archdaily.com/592824/ad-classics-bibliotheca-alexandrina-snohetta

Bibliotheca Alexandrina. (n.d.). Retrieved March 31, 2017 from http://snohetta.com/project/5-bibliotheca-alexandrina

Bibliotheca Alexandrina. (March 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikipedia.org/wiki/Bibliotheca_Alexandrina

Bibliotheca Alexandrina: The Great Library of Alexandria Reborn?. (March 27, 2013). Retrieved April 1, 2017 from http://bookriot.com/2013/03/27/critical-linking-march-27th-2013/

Ida Fajar Priyanto. (2017). Library Showcase dan Desain Perpustakaan: Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan sesi ke-5. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Library of Alexandria. (February 13, 2017). Retrieved April 1, 2017 from https://en.wikiarquitectura.com/building/library-of-alexandria/

http://bibalex.org/en/default

Usability test pada EPrints

Perpustakaan digital sebagai sumber informasi yang dikelola oleh perpustakaan pada dasarnya juga merupakan bagian dari sistem informasi. Di perguruan tinggi, kebanyakan perpustakaan digital dibangun menggunakan software open source EPrints yang dkembangkan oleh University of Southampton mulai tahun 2000 (Agrawal, 2014). Sesuai data yang diambil dari website http://roar.eprints.org/ jumlah institusi yang menggunakan EPrints di seluruh dunia tercatat sejumlah 626 institusi/website. Di Indonesia sendiri, EPrints digunakan di 74 instansi yang mayoritas adalah Perguruan Tinggi. Software open source lain untuk perpustakaan digital, yaitu DSpace, digunakan oleh 16 website di Indonesia.

Sebagai sistem informasi, perpustakaan digital bisa dinilai tingkat kegunaannya atau yang biasa disebut dengan usability. Menurut (Priyanto, 2017), ada 5 faktor manusia yang harus dipertimbangkan untuk mengevaluasi perpustakaan digital, yaitu waktu untuk mempelajari, kecepatan kinerja, tingkat error pengguna, retensi dan kepuasan subyektif. Sedangkan menurut (Masitah Ahmad, 2014) usabillity adalah konsep multidimensional yang bisa diteliti dari berbagai perspektif yang (diantaranya) juga merupakan user-friendliness serta dapat ditinjau dari sudut pandang efektifitas antarmukanya.

Meskipun pengguna EPrints cukup banyak, namun tidak banyak artikel yang membahas mengenai usability EPrints. Diantara yang meneliti tentang usability test pada EPrints dan akan dibahas disini adalah dari (Omer Dalkiran, et. al., 2014). Dalam studi ini, Dalkiran meneliti penggunaan EPrints untuk arsip digital pada Departemen Manajemen Informasi, Universitas Hacettepe, Turki. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat interaksi pengguna dengan antarmuka sistem dan menentukan kemudahan penggunaan untuk mengumpulkan data serta membuat perubahan dan pengembangan yang diperlukan berdasarkan hasil yang dikumpulkan. Penelitian dilakukan kepada 5 pengguna dengan metode praktik langsung menggunakan EPrints yang mana jumlah klik pada mouse dan penggunaan keyboard dipantau dengan perangkat lunak Camtasia Studio.

Pertanyaan yang diajukan kepada kelima pengguna tersebut yakni;

  1. Bagaimana cara mendapatkan akses penuh (fulltext) ke sebuah artikel mengenai bibliometrika, yang diterbitkan pada tahun 2012 (1 full access an article). Pertanyaan ini bertujuan menilai pencarian subjek, tanggal, atau jenis publikasi bersama dengan fitur akses fulltext.
  2. Mendaftar ke Arsip Digital (2 sign-up). Pertanyaan ini bertujuan untuk menilai kemudahan/kesulitan dalam proses keanggotaan.
  3. Mencari artikel yang ditulis oleh Bülent Yılmaz dengan topik: Komunikasi Sosial dan Perpustakaan (3 listing articles). Pertanyaan ini bertujuan untuk menilai keterjangkauan pengguna pada sebuah artikel yang ditulis oleh penulis terkenal dan pada topik tertentu.
  4. Mengakses bab dari buku yang diterbitkan pada tahun 2010 beserta daftar seluruh penulisnya (4 listing authors).

Adapun hasil penelitian pada 5 pengguna dengan identitas S1, S2, S3, S4 dan S5 adalah sebagai berikut:

Dari hasil penelitian diatas bisa diambil beberapa kesimpulan, yakni;

  1. Tabel 1 menunjukkan bahwa proses mendaftar (sign-up) pada sistem cukup menyulitkan karena pengguna harus mengecek e-mail konfirmasi yang terkadang dideteksi sebagai spam(tidak masuk inbox). Sementara untuk pertanyaan lainnya, relatif mudah diselesaikan.
  2. Tabel 2 menunjukkan lama waktu yang dihabiskan oleh pengguna untuk menyelesaikan sebuah pertanyaan. Dapat dilihat bahwa proses mendaftar sekali lagi membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan proses lain yang artinya proses ini lebih menantang (menyulitkan). Sementara proses lainnya relatif lebih mudah diselesaikan.
  3. Tabel 3 menunjukkan berapa kali pengguna mengeklik sebelum akhirnya menyelesaikan pertanyaan. Meskipun pada data ini, proses mendaftar juga menghabiskan waktu lebih banyak dibanding proses/pertanyaan lain, namun harus pula dilihat bahwa pengguna S1 memerlukan lebih banyak (bahkan jauh lebih banyak) klik untuk menyelesaikan soal. Dalkiran, et.al. menyebut bahwa latar belakang pengguna (S1) yang merupakan mahasiswa S1 lebih berperan disini karena faktor usia, pengalaman dan tingkat antusiasme yang tinggi.

Pada tahap akhir penelitian, kelima pengguna diminta untuk menyampaikan opini mengenai kemudahan pemakaian EPrints melalui 10 pertanyaan yang diukur menggunakan skala Likert. Secara keseluruhan, pendapat pengguna terdistribusi dalam tingkat sedang. Pengguna mengindikasikan bahwa penataan menu sudah baik serta fitur-fitur yang ada secara umum mudah diingat. Namun demikian, pengguna memandang bahwa panduan penggunaan kurang memadai. Pengguna yang menggunakan EPrints untuk pertama kalinya, mengharapkan mereka dapat memperoleh panduan secara lebih mudah. Sebagian besar pengguna juga mengindikasikan bahwa mereka tidak menemui kesalahan dalam antarmuka sistem, visualisasi juga dianggap memuaskan secara keseluruhan. Namun dapat dikatakan pula bahwa untuk menjamin kepuasan pengguna, antarmuka tetap harus lebih dikembangkan.

 

Daftar Pustaka

Ida F. Priyanto. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Masitah Ahmad, Jemal H. Abawajy. (2014). Digital Library Service Quality Assessment Model. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 129, 571 – 580. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.03.715

Omer Dalkiran, et. al. (2014). Usability Testing of Digital Libraries: The Experience of EPrints. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 147, 535 – 543. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.07.155

Pawan R. Agrawal., Shyama Rajaram. (2014). Open Source Software and Open Access Resources for Enhancing Library Services: an Exploratory Study (Doctoral Dissertation). Maharaja Sayajirao University of Baroda (India), ProQuest Dissertations Publishing.

Upaya peningkatan kualitas perpustakaan melalui pemeringkatan dan akreditasi

Ibarat persaingan dalam dunia bisnis, perpustakaan pada saat ini dituntut untuk bersaing meningkatkan kualitas supaya tidak ditinggalkan oleh pembacanya. Hal ini dikarenakan perpustakaan sebagai lembaga preservasi sekaligus penyampai informasi kepada masyarakat harus survive sehingga koleksi-koleksinya tidak hilang ditelan zaman. Model peningkatan kualitas ini bisa melalui pemeringkatan maupun dalam konteks perpustakaan di Indonesia, melalui proses akreditasi. Upaya-upaya ini seringkali diiringi dengan pemeringkatan sehingga antar perpustakaan bisa melakukan benchmarking dengan perpustakaan yang sejenis dengannya serta memperbaiki pada bagian apa perpustakaan tersebut harus meningkatkan layanannya.

Pemeringkatan perpustakaan di luar negeri

Di luar negeri, ada beberapa negara yang memiliki metode dalam memberikan peringkat bagi perpustakaannya. Di sini akan kita singgung sedikit diantaranya yang terutama akan kita lihat dari sisi metodologi yang digunakan. Metode-metode yang disajikan disini belum tentu merupakan yang terbaik, namun paling tidak bisa memberikan gambaran apa saja penilaian perpustakaan pada negara-negara yang sudah selangkah lebih baik dalam pengelolaan perpustakaannya.

  1. BIX (bibliotheksindex)

BIX merupakan sebuah usaha benchmarking perpustakaan di Jerman yang meliputi perpustakaan umum dan perpustakaan akademik yang diinisiasi sejak tahun 1999 oleh Asosiasi Perpustakaan Jerman dan Yayasan Bertelsmann. Tujuan dari BIX adalah untuk secara efektif menggambarkan kinerja perpustakaan dengan data statistik, yang dengan demikian membantu komunikasi antara perpustakaan, penyandang dana dan pembuat kebijakan melalui transparansi pelayanan dan memungkinkan perpustakaan untuk menilai kekuatan dan kelemahan mereka dan menunjukkan peluang untuk perbaikan kualitas.

Untuk menilai perpustakaan umum dan perpustakaan akademik. BIX menekankan pada 4 dimensi target, yaitu pada pelayanan, penggunaan, efisiensi dan pengembangan. Detail masing-masing dimensi target pada perpustakaan akademik dan perpustakaan publik adalah sebagai berikut:

Perpustakaan akademik:

  • Pelayanan: tempat duduk, staf, pengeluaran (expenditure) perkapita pemustaka, pengeluaran untuk koleksi elektronik, jam buka per minggu
  • Penggunaan: jumlah kunjungan riil, jumlah kunjungan maya (virtual), pelatihan pemustaka, ketersediaan media
  • Efisiensi: pengeluaran perpustakaan per peminjam, rasio pengeluaran untuk pembelian koleksi dibandingkan honor staf, produktifitas alur kerja (pemrosesan media, peminjaman dan interlibrary loan)
  • Pengembangan: pelatihan untuk staf, prosentasi peralatan yang diperoleh dari hibah.

Perpustakaan publik:

  • Pelayanan: koleksi per kapita, space untuk pengunjung, jumlah staf, jumlah komputer, layanan internet, acara-acara pendukung
  • Penggunaan: kunjungan perpustakaan per kapita, kunjungan maya perpustakaan, peminjaman per kapita, pergantian koleksi, total jam buka, jumlah titik layanan
  • Efisiensi: anggaran untuk pembelian, jam kerja staf per jam buka layanan, jumlah kunjungan per jam buka, pengeluaran per kunjungan pemustaka
  • Pengembangan: rasio pembaruan koleksi, jumlah pelatihan lanjutan untuk staf, investasi modal per kapita
  1. LJ Index

The LJ Index adalah sistem pemeringkatan di Amerika Serikat yang dirancang untuk mengenali dan mempromosikan perpustakaan umum Amerika, untuk membantu mengumpulkan data statistik perpustakaan nasional, dan untuk mendorong perpustakaan melakukan evaluasi diri. LJ Index ini didasarkan pada data laporan yang dikumpulkan oleh perpustakaan publik di Amerika yang dikumpulkan oleh Institute of Museum and Library Services (IMLS). LJ Index dihitung dari luaran statistik per kapita dari layanan perpustakaan sebagai berikut:

  1. Kunjungan ke perpustakaan
  2. Sirkulasi
  3. Program perpustakaan
  4. Penggunaan layanan internet,

dan sejak tahun 2016, parameter penghitungan ini ditambahkan dengan sirkulasi pada koleksi elektronik.

Indeks ini mengukur bagaimana kuantitas layanan yang dipilih yang disediakan oleh perpustakaan dibandingkan dengan perpustakaan dalam kelompok sejenis (peer group). Untuk masing-masing perpustakaan, masing-masing empat statistik keluaran diukur terhadap rata-rata untuk kelompok perpustakaan yang sejenis. Karena hanya mengukur kuantitas, index ini tidak sampai menghitung perpustakaan dalam konteks kualitas, keunggulan, efektivitas, nilai dan kesesuaian layanan perpustakaan. Demikian pula, indeks tidak menunjukkan apakah tingkat output layanan perpustakaan sesuai untuk masyarakat perpustakaan, atau sejauh mana layanan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat. LJ Index mendorong perpustakaan untuk menganalisis data operasional dan komunitas demografi mereka sendiri secara lokal.

  1. Hennen’s American Public Library Ratings (HAPLR)

HAPLR index memiliki 15 faktor dalam memberikan rating bagi perpustakaan di Amerika Serikat. Index tersebut memiliki fokus pada sirkulasi, staf perpustakaan, koleksi, pelayanan referensi dan sumber pendanaan (funding). Pada tiap-tiap faktor memiliki bobot yang berbeda, yaitu;

  1. Berbobot 3, pada: pengeluaran (expenditure) per kapita, harga per sirkulasi, kunjungan per kapita.
  2. Berbobot 2, pada: prosentase anggaran koleksi, pengeluaran untuk koleksi per kapita, jumlah staf tetap per 1000 pemustaka, pergantian koleksi, sirkulasi per jam kerja staf tetap, sirkulasi per kapita, referensi per kapita, sirkulasi per jam.
  3. Berbobot 1, pada: jumlah koleksi periodikal per 1000 penduduk, volume per kapita, jumlah kunjungan per jam, jumlah sirkulasi sekali kunjungan.

Namun, amat disayangkan, index HAPLR ini terakhir kali mengeluarkan rating adalah pada tahun 2010 seperti tertera dalam laman webnya.

Selain berbagai metode di atas, masih ada satu lagi yang cukup menarik adalah penerapan ISO 11620:2014 mengenai Information and documentation — Library performance indicators. Namun kami tidak bisa mendapatkan referensi untuk standar ISO ini sehingga tidak dibahas disini.

Akreditasi perpustakaan di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, upaya peningkatan kualitas perpustakaan dilakukan dengan usaha akreditasi. Akreditasi menurut O’Brien (2010) dalam Sulistyo Basuki (2013) adalah proses jaminan mutu (yang) dikendalikan oleh standar, kebijakan dan prosedur. Untuk akreditasi perpustakaan perguruan tinggi, Sulistyo Basuki (2013) menyebutkan bahwa yang berwenang melakukan akreditasi berdasarkan Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Dalam akreditasi perguruan tinggi ini, komponen yang diakreditasi beserta bobot masing-masing adalah sebagai berikut:

No. Urutan komponen Jumlah indikator kunci Bobot tiap indikator kunci Skor minimal Skor maksimal
1 Layanan dan kerjasama 10 3 30 150
2 Sumber Daya Manusia 13 2 26 130
3 Koleksi 12 2 24 120
4 Sarana & Prasarana 19 1 19 95
5 Sumber Saya Elektronik 10 1.5 15 75
6 Gedung dan Ruang Perpustakaan 12 1 12 60
7 Anggaran 5 2 10 50
8 Pengolahan bahan 5 2 10 50
9 Organisasi Perpustakaan 4 1.5 6 30
90 150 750

Tabel komponen penilaian akreditasi perpustakaan (Sulistyo Basuki, 2013)

Akreditasi merupakan upaya yang sangat baik dari dunia kepustakawanan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas layanan. Namun demikian, menurut Sulistyo Basuki, masih ada sedikit catatan tentang akreditasi ini yaitu bahwa akreditasi di Indonesia masih dilakukan oleh Perpusnas dan BAN-PT (dalam konteks akreditasi program studi dan institusi), sementara menurutnya yang lebih tepat melakukan akreditasi adalah asosiasi profesi sebagaimana sudah dilakukan di negara lain.

 

Daftar Pustaka

BIX-Bibliothekindex: Academic Libraries. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/indikatoren/wissenschaftlichebibliotheken.html

BIX-Bibliothekindex: BIX Indicators for Public Libraries. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/indikatoren/oeffentlichebibliotheken.html

BIX-Bibliothekindex: General Information. (n.d.). Retrieved March 18, 2017 from http://www.bix-bibliotheksindex.de/en/project-info/general-information.html

Ida Fajar Priyanto. (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan, minggu ke-4. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

ISO 11620:2014 – Information and documentation — Library performance indicators. (n.d.). Retrieved March 17, 2017 from https://www.iso.org/standard/56755.html

Rating Methods. (2010). Retrieved March 18, 2017 from http://www.haplr-index.com/rating_methods.htm

Sulistyo Basuki. (2013, October 27). Akreditasi Perpustakaan Perguruan Tinggi. Retrieved March 18, 2017 from https://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/10/27/akreditasi-perpustakaan-perguruan-tinggi

The LJ Index: Frequently Asked Questions (FAQ). (n.d.). Retrieved March 17, 2017 from http://lj.libraryjournal.com/stars-faq

 

Digital preservation pada born-digital material

Banyak perpustakaan saat ini berusaha menyajikan karya masa lampau dalam bentuk digital, baik sebagai usaha untuk menyebarluaskan pengetahuan maupun dalam rangka preservasi karya. Di lain pihak, pada saat ini banyak dihasilkan karya dalam bentuk born-digital, yaitu karya yang sudah sejak awalnya berbentuk digital. Muncul pertanyaan, bagaimana karya dalam bentuk yang sudah digital sejak awal ini dipreservasikan sehingga generasi yang akan datang bisa melihat karya pada saat ini? Artikel ini akan mengulas beberapa hal yang harus dilakukan untuk melakukan preservasi materi digital beserta rencana kasus studi, namun kami batasi dengan tidak membahas hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta.

Menurut OCLC, born-digital resources adalah segala sesuatu yang diciptakan dan dikelola secara digital. Contoh dari material born-digital yaitu foto digital, dokumen digital, halaman web yang terpanen (harvested), manuskrip digital, rekaman elektronik, kumpulan data statis, data dinamis, seni digital serta publikasi media digital. Material dalam kategori ini meskipun memiliki keunggulan dari media cetak yaitu kenyamanan dalam penggunaan, fungsionalitasnya, serta mudah untuk didistribusikan melalui media elektronik dan internet, namun memiliki kekurangan yang mendasar yang menyebabkannya rentan hilang, rusak dan pada akhirnya pada waktu tertentu tidak bisa lagi diakses oleh generasi mendatang. Hedstrom dan Montgomery (1998) dalam Digital Preservation Coalition (2008), menyebutkan bahwa material born-digital terancam oleh usangnya teknologi dan kerusakan fisik (media penyimpanannya).

Mengantisipasi kehilangan dokumen digital maupun akses terhadap dokumen tersebut, ada beberapa pendapat yang dikemukakan perihal pelestarian koleksi digital. Menurut Digital Preservation Coalition (2008), harus dilakukan 3 pendekatan dalam melakukan pelestarian material born-digital, yaitu:

  1. Melestarikan perangkat lunak (dan perangkat keras) asli yang digunakan untuk membuat dan mengakses material digital tersebut.
  2. Menciptakan perangkat lunak yang kuat yang mampu melakukan peniruan terhadap cara kerja perangkat lama. Hal ini juga disebut dengan teknologi peniruan (emulation technology)
  3. Memastikan bahwa material digital yang akan dilestarikan sudah ditransfer ke dalam format baru teknologi yang ada. Ini disebut dengan strategi migrasi.

Sedangkan Stephen Gray (2012) mengusulkan metode yang pada dasarnya hampir sama dengan Digital Preservation Coalition yang ia sebut dengan Long-term tactics, yang terdiri dari:

  1. Refreshment, yaitu melakukan backup data ke dalam media yang lain. Misalnya meng-copy data film ke CD yang lain.
  2. Migration, yaitu melakukan perubahan format file ke dalam format yang baru, misalnya dari MPEG1 ke DVD (MPEG2), dari .doc ke .docx, dan seterusnya.
  3. Emulation, yakni berusaha mengurangi ketergantungan pada perangkat lunak pembaca data. Perangkat lunak ini seharusnya mampu membaca data dalam waktu yang lama.

Strategi pelestarian koleksi digital pada dasarnya sama dan memiliki garis besar yakni kelestarian media penyimpanan (perangkat keras) dan kelestarian perangkat lunak pencipta dan pengelola material born-digital tersebut. Hal ini tampaknya yang membuat pelestarian koleksi digital lebih kompleks dari koleksi cetak, yaitu apabila koleksi cetak hanya diperlukan materialnya saja (secara fisik tampak yakni buku,majalah, koran, dll), sedangkan untuk koleksi digital juga diperlukan perangkat untuk mengaksesnya.

Studi kasus pelestarian koleksi digital

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk mengelola karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa yang berupa laporan penelitian, skripsi, tesis dan disertasi. Di perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), akses karya ilmiah tersebut sedang dalam proses bergeser dari mengakses karya dalam bentuk tercetak dan daring, menjadi akses daring saja (mengingat keterbatasan tempat penyimpanan karya, yang bisa mencapai 7000 karya per tahun). Dan tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat diambil kebijakan bahwa karya yang dikumpulkan hanya dalam bentuk digital. Sedangkan format born-digital, UNS memiliki website resmi universitas, website perpustakaan dan blog untuk mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikannya. Untuk mengantisipasi kelestarian karya ilmiah maupun blog supaya bisa diakses di masa yang akan datang, perlu kiranya dipertimbangkan untuk melakukan langkah digital preservation.

Diantara langkah yang perlu dilakukan yaitu:

  1. Untuk koleksi karya ilmiah (https://digilib.uns.ac.id, https://eprints.uns.ac.id dan https://jurnal.uns.ac.id), dokumen yang sudah diunggah perlu dilakukan backup dan disimpan dalam server backup yang dari tahun ke tahun perangkat keras dan perangkat lunaknya selalui diperbarui. Dalam hal manajemen server, perangkat lunak yang harus diperbarui adalah VMWare-nya. Sedangkan untuk mengakses file tersebut, perlu juga dibeli dan disimpan perangkat lunak pengakses PDF yaitu Adobe Acrobat, Nitro, peramban seperti Mozilla Firefox dan Google Chrome lengkap dengan plugin untuk mendownload format PDF serta aplikasi-aplikasi untuk mengakses file dalam format gambar (JPEG, PNG, dst).Sementara format file karya tersebut saat ini masih menggunakan portable document format (pdf) yang saat ini masih didukung baik oleh peramban maupun aplikasi desktop sehingga belum perlu dilakukan migrasi besar-besaran (terhadap total karya yang mencapai 40.000 dokumen). Dalam hal format, apabila dokumen ini akan ditransfer ke format flip book, hal ini akan memakan tenaga dan sumber daya yang tidak sedikit, sehingga kami kira tidak perlu dimigrasikan ke format lain karena PDF masih mencukupi.
  1. Untuk website universitas (https://uns.ac.id), website perpustakaan (https://library.uns.ac.id) dan blog (http://blog.uns.ac.id), perlu dilakukan pendekatan harvesting web content dan web archiving, dimana hal ini sudah dilakukan oleh Internet Archive (https://archive.org), Library of Congress (https://www.loc.gov/websites/collections) dan beberapa institusi besar lainnya seperti National Library of Australia, Bibliothèque nationale de France dan the Österreichische Nationalbibliothek. Blog pada perguruan tinggi juga perlu dilestarikan mengingat di lingkungan akademik, banyak materi kuliah berupa presentasi dan dimungkinkan juga data riset yang dipublikasi yang pada suatu saat perlu dibuka kembali untuk melanjutkan sebuah penelitian.Sesuai pendapat Digital Preservation Coalition (DPC), dokumen web archiving bisa disimpan dalam format WARC (WebARChive). Untuk melakukan archiving pada website tentu tidak dilakukan dengan mudah, namun bisa dilakukan dengan perangkat lunak yang secara garis besar fungsinya adalah menyediakan alur kerja (workflow) pengarsipan web, yakni pemilihan material, perijinan, pendeskripsian, penjadwalan, pemanenan, penjaminan mutu, pengarsipan dan akses.

 

Daftar Pustaka

Digital Preservation Coalition. (2008). Preservation Management of Digital Material: The Handbook. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/pages/handbook/docs/DPCHandbookDigPres.pdf

Digital Preservation Coalition. (2015). Digital Preservation Handbook: Web Archiving. Retrieved March 16, 2017 from http://www.dpconline.org/handbook/content-specific-preservation/web-archiving

Gray, Stephen. (2012). Preserving Born-Digital Material. Retrieved March 16, 2017 from http://www.performingartscollections.org.uk/resources/practical-solutions-for-collections/preserving-born-digital-material/

Erway, Ricky. (2010). Defining Born Digital. Retrieved March 16, 2017 from http://www.oclc.org/content/dam/research/activities/hiddencollections/borndigital.pdf

Framework dalam mendesain User Experience (UX) di Perpustakaan

Setelah melampaui generasi pertama dan kedua perpustakaan, yakni yang berorientasi koleksi dan pemustaka, maka pustakawan dihadapkan pada tantangan baru yakni bagaimana memanjakan para pemustaka. Kebutuhan pemustaka apalagi memasuki abad 21 yang dipenuhi perkembangan teknologi memunculkan konsep User Experience dalam perpustakaan, yaitu bagaimana pemustaka merasakan pengalaman (experience) baru ketika mengunjungi perpustakaan (perpustakaan generasi ke-3). Pengalaman ini, sesuai konsep perpustakaan sebagai tempat belajar, akan semakin memberikan nilai lebih apabila dihubungkan dengan konsep generasi ke 4 perpustakaan sebagai tempat bagi connected and collaborative learning experience.

Konsep User Experience (UX) pada awalnya berasal dari keilmuan komputer dalam hal interaksi manusia dan komputer (human-computer interaction). Namun karena hal ini juga bisa diterapkan pada perpustakaan, yang mana perpustakaan juga selalu berkembang mengikuti model belajar pemustakanya, maka UX juga menjadi tren tersendiri di perpustakaan. Untuk mendesain UX yang sesuai kebutuhan, maka proses yang diterapkan yakni pertama mengenal tren model belajar saat ini, kedua menganalisis dan mengonsep kebutuhan pemustaka dengan panduan (framework) dari ahlinya, dan ketiga mewujudkan konsep tersebut ke dalam perpustakaan dan melihat reaksi pemusaka. Yang akan kita bahas dalam artikel ini hanya pada 2 proses pertama.

Pertama, terkait dengan tren pembelajaran saat ini dalam konteks perpustakaan, maka ada beberapa tren pembelajaran yang bisa diambil dari artikel Peter Fernandez (2017), diantaranya:

  1. Personalized learning tools and techniques, meet individual needs.

Setiap pelajar/mahasiswa/pemustaka meskipun secara garis besar memiliki kecenderungan yang bisa dikategorisasi, tetap saja setiap mereka memiliki kebutuhan spesifik yang berbeda dengan orang lain. Kebutuhan inilah yang harus difasilitasi oleh perpustakaan. Kebutuhan ini bisa berupa ruangan yang sunyi (silent), area kerja (workspace) yang leluasa, ataupun periferal teknologi yang dibutuhkan misalnya stop kontak listrik maupun charger untuk laptop, smartphone, dst.

  1. Massive open online course

Semakin banyaknya website yang men-share materi kuliahnya secara online, juga memberikan tantangan bagi perpustakaan untuk berbenah. Beberapa bahkan memberikan sertifikat bagi yang sudah menyelesaikan materi dan lulus ujian online. Perpustakaan bisa mengantisipasinya dengan memberikan layanan sejenis yang ada di dalam perpustakaan. Misalnya saja dengan mengumpulkan materi kuliah dari dosen dan bisa diakses secara lokal di dalam perpustakaan kampus.

  1. Formal, informal and lifelong learning

Banyak pemustaka yang memiliki keinginan belajar yang baik dan disertai kemampuan untuk belajar mandiri. Misalnya dengan melihat tutorial di Youtube, menyelesaikan pekerjaan dengan software open source, berinteraksi dengan para pakar melalui blog dan media sosial, dst. Mereka ini tidak hanya menganggap bahwa belajar hanya di ruang kelas tapi bisa dimana saja. Disinilah peran perpustakaan untuk memfasilitasi model belajar seperti ini.

Kedua, dengan melihat beberapa tren pembelajaran tadi, kita kemudian akan merancang konsep perpustakaan seperti apa yang sesuai. Memang hal ini tidak mudah dan tidak langsung menyelesaikan masalah, namun paling tidak kami melihat bahwa framework untuk merancang kebutuhan (UX) tersebut sangat berkaitan dengan wawancara kepada pemustaka. Paling tidak ada 2 model yang bisa diajukan yakni dari American Association of School Librarian (2013) dan Design Thinking dari IDEO (2014).

  1. American Association of School Librarian, sebagaimana dimuat dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners

Dalam merancang kebutuhan pemustaka, disediakanlah kuesioner yang ditujukan kepada pemustaka. Hal yang penting adalah mencermati pertanyaan apa yang tepat yang mampu membuat kita menganalisis dan mengonsep desain yang pas. Beberapa contoh pertanyaan yang dijumpai dalam buku Library Spaces for 21st-Century Learners diantaranya:

  • Fasilias apa yang bisa disediakan oleh perpustakaan yang di kelas tidak dijumpai?
  • Apa arti kolaborasi dalam sebuah ruangan perpustakaan?
  • Firnitur apa yang diperlukan pada saat menggunakan tablet, laptop dan smartphone?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku tercetak?
  • Fasilitas apa saja yang harus disediakan pada sebuah ruangan untuk membaca buku elektronik?
  • Apakah warna furnitur dan tembok perpustakaan berpengaruh? Kenapa?
  • Pada saat belajar, alat apa saja yang kamu butuhkan dengan segera?
  • Aktivitas favorit apa yang kamu kerjakan di perpustakaan?
  • Peralatan apa yang kamu butuhkan saat kamu bekerja bersama temanmu?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan dalam sebuah group discussion dimana selain pustakawan dan pemustaka, juga dihadirkan orang tua murid (dalam hal perpustakaan sekolah).

Contoh desain dari buku Library Spaces for 21st-Century Learners

  1. Design Thinking

Design thinking adalah sebuah toolkit, atau mungkin juga tepat disebut dengan framework, untuk mendesain perpustakaan yang sesuai dengan konsep human-centred. Design thinking adalah toolkit yang dikembangkan oleh IDEO, sebuah perusahaan desain dengan didukung oleh Bill and Melinda Gates Foundation untuk membantu pustakawan mengenali para pemustakanya, kebutuhan-kebutuhannya, yang  tujuan akhirnya adalah sebuah desain perpustakaan yang memberikan pengalaman (experience) baru bagi pemustakanya. Design thinking seperti disebutkan dalam websitenya (http://designthinkingforlibraries.com/) terdiri dari 2 buah toolkit untuk memandu pustakawan mendesain model perpustakaannya, yaitu Toolkit Guide dan Toolkit Activities Workbook. 2 toolkit ini disertai 1 rangkuman yaitu At-a-glance Guide.

Landasan berpikir Design Thinking ini juga sebuah kuesioner dan praktek pembuatan prototipe. Berikut ini adalah gambaran konseptual Design Thinking yang diambil dari Toolkit berikut penjelasannya.

Konsep Design Thinking dari IDEO

TAHAP INSPIRATION

  1. Menantang diri sendiri untuk membuat desain
  2. Mengeksplorasi metode riset
  3. Merencanakan riset
  4. Mendokumentasikan riset

TAHAP IDEATION

  1. Menceritakan ide
  2. Mencari tema
  3. Menciptakan brainstorm
  4. Menggali gagasan-gagasan
  5. Membuat prototipe

TAHAP ITERATION

  1. Mengevaluasi gagasan-gagasan
  2. Mencari masukan dari pengguna
  3. Menjalankan mini-pilot
  4. Mengevaluasi kemajuan

 

Daftar Pustaka

American Library Association. (2013). Library Spaces for 21st-Century Learners. American Association of School Librarians.

http://designthinkingforlibraries.com/

Ida F. Priyanto. (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada.

Peter Fernandez. (2017). “Through the looking glass: envisioning new library technologies” Educational Trends that Will Impact Library Technology. Library Hi Tech News, 34(1).