Hilangnya akses e-jurnal dan e-book(?) (bagian 2)

Wilson (2014) mengatakan bahwa dampak atas banyaknya informasi elektronik sangat dirasakan oleh perpustakaan akademik. Masalah yang dihadapi perpustakaan diantaranya bagaimana mengelola e-book sementara anda tidak bisa mengontrolnya sebagaimana biasa dilakukan terhadap buku cetak. Bagaimana bernegosiasi dengan penerbit sementara mereka memandang perpustakaan (umum) lebih sebagai ancaman daripada sebagai rekanan. Pertanyaan jangka panjangnya adalah bagaimana perpustakaan akan tetap hidup sedangkan di sisi lain akses terhadap informasi elektronik sangat mudah.

Pertanyaan tersebut tampaknya juga merupakan salah satu dilema akses informasi elektronik. Di satu sisi ada kemudahan yang didapatkan oleh pencari informasi (pemustaka), namun di sisi lain ada aspek bisnis dari sebuah penerbit yang juga memiliki siklus hidup. Bagaimana jika penerbit tersebut bangkrut? Bagaimana cara mengakses jurnal tanpa penerbit? Apakah jurnal yang konsentrasinya adalah pada produk ilmiah, juga mampu menyebarluaskan produk mereka sendiri?

Ida F. Priyanto (2017) menjelaskan mengenai komunikasi ilmiah yang terdiri dari 3 siklus, yaitu siklus pengetahuan, siklus publikasi dan siklus akses. Siklus pengetahuan dimulai dari (1) mengembangkan dan membahas ide; (2) mempresentasikan kajian awal; (3) melaporkan penelitian; (4) mempublikasikan penelitian; (5) mempopulerkan pengetahun dan (6) generalisasi dan formalisasi. Siklus publikasi dimulai dari (1) pemikiran awal penelitian yang tertulis dalam berbagai media (komunikasi e-mail, memo, proposal, buku harian, dst). Dilanjutkan dengan (2) penulisan makalah pada prosiding; (3) laporan teknis, tesis dan disertasi; (4) artikel ilmiah; (5) majalah populer, buku dan suratkabar baik cetak maupun elektronik; serta yang terakhir adalah (6) ensiklopedia, annual review, monograf, buku teks dan referensi. Siklus berikutnya adalah siklus akses yang dimulai dari (1) akses publik terbatas; (2) indeks khusus yang tidak diterbitkan, abstrak jurnal dan website konferensi ilmiah; (3) pengindeks untuk tesis dan disertasi; (4) pengindeks artikel ilmiah seperti Web of Science dan Scopus; (5) pengindeks pada media populer seperti  Lexis-Nexis dan terakhir yaitu (6) bibliografi.

Seperti sudah dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini, mekanisme pencarian informasi rentan terganggu oleh perkembangan teknologi (disruptive innovation/technology). Demikian pula jika kita melihat siklus pada konteks komunikasi ilmiah di atas, ada beberapa bagian yang melibatkan penerbitan informasi ilmiah berpotensi terganggu siklusnya. Dalam hal tulisan ini, yang kemungkinan terganggu adalah siklus keempat dari masing-masing siklus utama. Siklus keempat ini yaitu mempublikasikan penelitian (pada siklus pengetahuan), artikel ilmiah (siklus publikasi) dan pengindeksan artikel ilmiah (siklus akses). Dalam hal terjadinya kemungkinan terburuk pada penerbit, perpustakaan sebagai lembaga yang bertanggung jawab menyediakan akses informasi kepada khalayak harus mengupayakan akses kembali informasi yang pernah dimiliki (atau dilanggan).

Ada setidaknya 2 pendekatan yang bisa kami ajukan. Yang pertama, dengan menganalogikan kejadian hilangnya data perusahaan ketika penyedia layanan cloud (Nirvanix) tidak mampu beroperasi lagi (seperti sudah kami tulis pada bagian pertama). Dalam kasus kebangkrutan Nirvanix, konsumen hanya memiliki waktu 2 minggu untuk memindahkan datanya (Butler, 2013). Tidak semua konsumen mampu melakukannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kent Christensen, seorang konsultan dalam proses migrasi data konsumen Nirvanix ke layanan cloud lain, “Some folks made it, others didn’t.” (Butler, 2014). Apabila perpustakaan menghadapi dilema sejenis, hal yang paling mungkin dilakukannya dalam waktu dekat adalah meminta setiap program studi mengunduh artikel dan jurnal yang terkait dengan kurikulumnya dan kemudian mencetaknya. Keberhasilan tindakan ini mestinya tidak lepas dari peran pustakawan yang sebelumnya sudah memberikan user education bagaimana cara mengakses database yang dilanggan. Semakin sering pustakawan memberikan user education, maka sivitas akademika akan semakin mudah mengoperasikan dan mendownload jurnal dan artikel yang sesuai. Selain mencetak, langkah yang bisa ditempuh lainnya adalah menyimpan berkas yang diunduh ke dalam repositori lokal milik program studi atau perpustakaan fakultas. Repositori ini hanya bisa diakses secara intranet.

Pendekatan kedua menganalogikan hubungan antara penulis (author) dan pembaca (reader) seperti dikemukakan oleh Wilson (2014). Wilson merangkumnya dalam gambar di bawah ini. Gambar tersebut menjelaskan bahwa penulis bisa menjadi pemain kunci dibandingkan dengan penerbit (publisher). Penulis memiliki lebih banyak pilihan untuk menerbitkan buku dan membuka kemungkinan untuk berhubungan langsung dengan perpustakaan, distributor dan penerbit. Wilson juga menggarisbawahi bahwa gambar di bawah ini sudah disimplifikasi dengan mengesampingkan kemungkinan lain seperti penerbit yang tidak melibatkan toko buku dan perpustakaan untuk berhubungan langsung dengan pembaca. Meskipun Wilson menuliskan artikelnya dalam konteks buku, namun tidak menutup kemungkinan hal ini juga bisa saja terjadi dalam konteks artikel pada jurnal ilmiah.

Dalam konsep Wilson ini, relasi yang dibangun antara dosen, peneliti dan mahasiswa dengan penerbit jurnal, sangat berperan. Apabila penulis dan redaksi jurnal bisa mengubah mindset dengan tidak selalu bergantung pada penerbit untuk menyebarluaskan jurnalnya, maka tindakan ini akan berhasil. Konsep ini pada dasarnya menggeser proses distribusi dari berbayar menuju open access.

 

Daftar Pustaka

Butler, Brandon. (September 18, 2013). Gartner’s analyst’s advice to customers of shuttering Nirvanix: PANIC!. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2225398/gartner-analyst-s-advice-to-customers-of-shuttering-nirvanix–panic-.html

Butler, Brandon. (June 2, 2014). Cloud’s worst-case scenario: What to do if your provider goes belly up. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2173255/cloud-computing/cloud-computing-cloud-s-worst-case-scenario-what-to-do-if-your-provider-goes-belly-up.html

Priyanto, Ida F. (2017). Materi kuliah Isu-Isu Kontemporer Informasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wilson, T. (2014). The e-book phenomenon: a disruptive technology. Libellarium: Journal For The Research Of Writing, Books, And Cultural Heritage Institutions, 6(1-2), 3-12. doi:http://dx.doi.org/10.15291/libellarium.v6i1-2.180

Leave a Reply

Your email address will not be published.