Mengenal konsep koleksi digital pada iJakarta dan iPusnas

Sebelum mengenal lebih jauh mengenai iJakarta dan iPusnas, ada baiknya beberapa pengertian terkait koleksi dan koleksi digital kita kenal dahulu. Menurut Undang-Undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007, koleksi adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan. Sedangkan pengertian koleksi digital menurut William Y. Arms (2000) dalam Priyanto (2017) yaitu kumpulan koleksi informasi yang dikelola dimana informasi tersebut disimpan dalam bentuk digital dan bisa diakses melalui jaringan. Perpustakaan, secara sederhana, sudah kita kenal sebagai sebuah lembaga tempat dimana kita melakukan peminjaman buku. Kata peminjaman perlu kita tekankan disini, karena jika bersentuhan dengan format digital, bisa jadi kita berasumsi bahwa koleksi digital bisa kita simpan/miliki  pada gawai kita. Perpustakaan, demikian juga dengan yang digital, mestinya tetap mempertahankan konsep peminjaman ini.

Di Indonesia, kemunculan iJakarta pada Oktober 2015 adalah sebuah tren baru bagi dunia perpustakaan digital di Indonesia. iJakarta adalah aplikasi perpustakaan yang dibuat atas inisiatif Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan dilakukan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Woolu Aksara Maya.  Aplikasi iJakarta, pada dasarnya adalah sebuah aplikasi membaca buku digital (ebook-reader) yang dilengkapi dengan fitur media sosial  dan dapat diakses melalui berbagai jenis perangkat keras (multi device) maupun perangkat lunak  (multi platform), seperti android iOS, dan Windows (Mikhael Tardas: 2015). iJakarta dilengkapi pula dengan fitur media sosial sehingga antara anggota satu dan lainnya bisa saling melihat buku apa saja yang sedang dibaca dan yang pernah dipinjam.

Menyusul kemudian pada bulan Agustus 2016, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga meluncurkan aplikasi sejenis yang diberi nama dengan iPusnas. iPusnas sendiri adalah aplikasi peminjaman buku online seperti halnya iJakarta namun oleh Perpusnas, iPusnas dijadikan terintegrasi dengan Indonesia One Search (IOS). Sama halnya dengan iJakarta, iPusnas juga dikembangkan dibawah bendera Aksaramaya.

Konsep dasar iJakarta dan iPusnas

Secara garis besar, konsep perpustakaan digital dari iJakarta dan iPusnas adalah sebagai berikut:

1. Open digital library

Disebutkan dalam laman web BPAD DKI Jakarta, bahwa iJakarta dibuat dengan konsep Open Digital Library. Menurut Suleman (2001), Open digital library (ODL) pada dasarnya dibuat berdasarkan konsep Open Archive Initiative (OAI) dimana ODL sendiri adalah jejaring dari Open Archive yang diperluas (extended). OAI sendiri diciptakan untuk menjembatani interoperabilitas antar digital library sehingga bisa saling berkomunikasi. Komunikasi antar perpustakaan digital ini dilakukan oleh protokol yang diberi nama Protocol for Metadata Harvesting (PMH).

Sedangkan konsep ODL yang dimaksudkan dalam iJakarta adalah “… semua pihak dapat mempunyai perpustakaan digital yang disebut “ePustaka” dalam iJakarta, sepanjang mempunyai konten yang dapat dipublikasi dan dipinjamkan oleh anggota ePustaka tersebut, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku…” (Mikhael Tardas: 2015). Pihak-pihak ini bisa menyumbangkan e-book yang menjadi bacaan selama ini sehingga pemustaka lainnya juga bisa meminjam koleksi buku dari pihak tersebut. Buku-buku sumbangan tersebut dijadikan satu dengan 1 jendela pencarian (OPAC) melalui jendela pencarian pada iJakarta. Jika dibandingkan dengan konsep dari Suleman (2001), tentu saja pengertian ODL iJakarta berbeda dengan yang dimaksud dengan ODL dari Suleman (2001). Hanya saja iJakarta bisa saja dianggap sebagai ODL apabila dianalogikan bahwa tiap-tiap pemustaka seolah-olah adalah perpustakaan digital itu sendiri dimana proses harvesting dari metadata sudah dilakukan dan dikelola otomatis melalui sistem iJakarta.

2. Digital rights management.

iPusnas, dalam release yang dituliskan di website resmi Perpusnas disebutkan memiliki konsep Digital Rights Management (DRM). “…Konten digital terkait dengan Digital Right Manajemen (DRM) yaitu mengatur siapa yang membaca, apa yang dibaca, kapan dibaca, bagaimana membacanya, berapa banyak bisa dibaca, dan variabel lainnya. Salah satu yang penting membuat DRM adalah sekuriti, dimana dalam mengakses konten digital perlu dibuat enkripsi atau reader. Nantinya koleksi full text  yang telah diindex dalam IOS dapat ditampilkan dalam iPUSNAS sepanjang diijinkan oleh penerbit, ataupun perpustakaan yang telah bergabung dapat dibuatkan IPustaka…”

Digital rights management sendiri menurut Subramanya (2006) bertujuan menciptakan sebuah kerangka kerja (framework) yang terdiri dari kebijakan, teknik dan perangkat dalam proses pemanfaatan konten digital. Lebih lanjut, DRM bagi pengarang, penerbit dan pembaca konten digital membawa perspektif sebagai berikut “…it facilitates the creator to specify the desired ownership rights of the content. It enables the producer to derive appropriate metadata from the content and specify the producer’s rights. It allows the consumer to specify the desired content and the various options in the use of content. It also allows the producer to monitor the content usage and track payment information…

Adalah suatu hal yang penting bahwa konten digital, termasuk di dalamnya adalah e-book, bahwa pengarang tetap mendapatkan manfaat dari hasil karyanya yang dengan demikian menjamin bahwa pengarang tetap produktif. Kemudahan dalam pembayaran royalti dan pembelian buku oleh perpustakaan (dalam hal ini adalah perpustakaan digital) akan memberikan rasa aman bagi pembaca dalam mengakses informasi karena sudah ada jaminan bahwa buku yang dibacanya diperoleh dari sumber dan cara yang sah/legal.

3. Buku dipinjamkan, bukan dimiliki.

Jika kita melakukan peminjaman buku menggunakan aplikasi iJakarta dan iPusnas, maka e-book tersebut akan diunduh ke dalam gawai kita dengan sebuah format tertentu, dalam hal iPusnas, format tersebut adalah ePub. Sebagai peminjam umum, biasanya kita akan diberi waktu membaca selama 2 hari. Selama 2 hari tersebut, e-book tertentu akan bisa kita akses dan kita baca baik kita dalam kondisi daring (online) maupun luring (offline). Apabila telah melewati 2 hari, maka akses kita kepada e-book tersebut sudah berakhir. Dengan demikian, bahwa baik pada iJakarta maupun iPusnas, konsep perpustakaan sebagai sarana peminjaman buku sudah diterapkan dengan benar. Hal ini yang tentu saja membedakan antara konsep perpustakaan digital dan toko buku online.

Dari paparan tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa baik iJakarta maupun iPusnas adalah sebuah gagasan baru dalam perpustakaan digital yang memenuhi kualifikasi dan sudah sesuai dengan konsep-konsep sebagai perpustakaan digital sepenuhnya.

Daftar Pustaka

Arms, William Y. (2000). Digital Libraries. The MIT Press.

Ida F. Priyanto. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Universitas Gadjah Mada.

Indonesia One Search (IOS) dan iPusnas sebagai layanan digital terkini Perpustakaan Nasional RI. (2016, Aug 2). Retrieved March 2, 2017 from http://dev.perpusnas.go.id/indonesia-one-search-ios-dan-ipusnas-sebagai-layanan-digital-terkini-perpustakaan-nasional-ri/

Mikhael Tardas. (2015). iJakarta: Perpustakaan Digital berbasis Social Media. Retrieved March 1, 2017 from http://www.bpadjakarta.net/index.php/component/content/article/48-berita-bpad/604-ijakartaperpustakaanberbasissocialmedia

Noval Kurniadi. (2016). iJakarta, antara Kebanggaan dan tantangan. Retrieved March 1, 2017 from http://www.kompasiana.com/nkurniadi/ijakarta-antara-kebanggaan-dan-tantangan_57d18e94aa23bd5151eb0dac

Pelangi Karismakristi. (2016, Oct 13). Ayo Baca Buku via Aplikasi iPusnas, Gratis!. Retrieved March 2, 2017 from http://news.metrotvnews.com/peristiwa/Dkqjn4RK-ayo-baca-buku-via-aplikasi-ipusnas-gratis

Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Lembaran Negara RI tahun 2007, Nomor 129. Sekretariat Negara. Jakarta

Subramanya, S.R. & Yi, B.K. (2006). Digital Rights Management. IEEE Potentials, 25(2), 31-34. doi: 10.1109/MP.2006.1649008

Suleman, Hussein & Fox, Edward A. (2001). A Framework for Building Open Digital Libraries. D-Lib Magazine, 7(12). doi: 10.1045/december2001-suleman

Perpustakaan Collection-centric, dari Koleksi Konvensional ke Digital

Perpustakaan sebagai sebuah sarana pembelajaran mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Perpustakaan zaman dahulu yang kita kenal semacam perpustakaan Alexandria di Mesir, Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad, dan seterusnya. Perpustakaan selalu ber-evolusi sesuai tuntutan zaman dan para pengunjungnya. Ida F. Priyanto (2017) menyebutkan “periodisasi” perkembangan perpustakaan sebagai berikut: (1) Era perpustakaan collection-centric, dimana fokus perpustakaan adalah pada koleksinya, baik pada penempatan koleksi maupun perawatannya. (2) Era client-centric, fokus perpustakaan mulai bergeser lebih memperhatikan kebutuhan pengunjung. Hal ini salah satunya karena adanya fenomena library anxiety. (3) Era experience center, dimana yang diinginkan pengunjung perpustakaan adalah adanya suasana dan pengalaman baru saat berkunjung. (4) Era connected learning experience, yaitu era bertemunya pengunjung dengan para pakar yang dihadirkan di perpustakaan serta adanya fasilitas belajar yang modern. (5) Era library makerspace, dimana perpustakaan sekaligus juga hadir sebagai semacam laboratorium rekreasi untuk berbagai kegiatan praktek teknologi.

Perpustakaan Collection-centric

Perpustakaan pada era ini ditandai dengan fokus pustakawan pada koleksi yang dimilikinya. Pada zaman dahulu, buku merupakan barang langka yang kadang hanya dicetak secara terbatas dan harus diamankan untuk mencegahnya dari kerusakan dan kehilangan. Mc Cabe (2000) menyebutkan bahwa pada tahun-tahun tersebut, perpustakaan adalah sebuah gedung dengan fungsi yang tetap (fixed function building). Setiap koleksi, baik buku, manuskrip, foto, peta, dsb diletakkan pada ruang-ruang terpisah. Apabila jumlahnya melebihi kapasitas ruangan, maka model rak susun (tier stack shelving) selalu menjadi pilihan dalam perencanaan. Mc Cabe juga merujuk pada publikasi Dahlgren (1985) dalam menentukan ukuran ruangan yang diperlukan per kapita (pengunjung). Konsep yang digunakan adalah ukuran ruangan yang tersedia dibagi alokasi untuk koleksi, akomodasi untuk pembaca dan akomodasi ruangan untuk pustakawan. Brawner dan Beck (1996) dalam McCabe (2000) menyebutkan alokasi 25 kaki persegi untuk tempat duduk pemustaka dan 45 kaki persegi untuk area kerja sebagai ukuran yang memadai.

Brown (2002) menambahkan sebuah aspek penting dalam pergerakan koleksi buku. Ia menyebutkan bahwa desain perpustakaan haruslah memfasilitasi mobilitas staf dalam memindahkan buku, periodikal dan koleksi audio visual. Pergerakan ini meliputi perpindahan buku dari bagian penerimaan buku ke bagian teknis maupun dari bagian pengembalian untuk kemudian dilakukan shelving kembali pada lokasi dimana koleksi tersebut seharusnya berada. Jalan, pintu dan elevator harus disiapkan dan dalam keadaan yang nyaman supaya staf tidak kesulitan memindahkan koleksi tersebut.

Collection-centric: dari konvensional ke digital

Karena periodisasi perpustakaan ini sifatnya tidak kaku, dimana meskipun sebuah perpustakaan sudah memiliki fasilitas makerspace dan memfasilitasi connected learning experience, pada bagian tertentu ia bisa saja masih bersifat collection-centric. Hanya saja pada era yang akan datang, fokus pada koleksi ini barangkali akan berubah dari koleksi cetak pada koleksi elektronik. Perbandingan yang saat ini masih banyak koleksi cetak, dalam beberapa saat yang akan datang bisa saja akan terbalik dengan koleksi elektronik lebih banyak.

Beberapa konsep dalam mendesain perpustakaan di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan koleksi yang tidak hanya sekedar buku dan majalah tercetak namun juga beragam koleksi elektronik. Worpole (2004) memberikan konsep perpustakaan dengan koleksi elektronik, misalnya perpustakaan dengan model seperti pertokoan retail. Konsep CHRISP STREET IDEA STORE ini dibuat oleh Miller Hare. Pada model ini, perpustakaan dibuat seperti toko CD/DVD. Perpustakaan ini ditujukan untuk pengunjung yang memiliki ketertarikan tinggi pada hal-hal berteknologi tinggi, mereka mengunjungi perpustakaan untuk akses internet selain meminjam buku.

Perpustakaan pada saat ini, khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi (academic library) juga memiliki koleksi elektronik yang berupa koleksi perpetual. Koleksi ini karena bentuknya adalah pembelian pada material online, maka konsep kepemilikan koleksi berubah menjadi konsep akses pada koleksi, demikian disebutkan dalam Kattau (2014). Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS), di samping semua perpustakaan perguruan tinggi, koleksi-koleksi elektronik ini ditampilkan dalam sebuah website. Dalam website tersebut tertera daftar e-book dan e-journal yang dilanggan baik yang dilanggan maupun dibeli (perpetual). Pada perpustakaan UNS, daftar tersebut bisa diakses melalui alamat https://library.uns.ac.id/e-book dan https://library.uns.ac.id/e-journal. Sedangkan pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM), database e-book bisa diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=199, dan database e-journal melalui http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=194. Akses database tersebut oleh UGM juga difasilitasi dengan EZProxy melalui alamat https://ezproxy.ugm.ac.id/ yang akan di-redirect ke halaman SSO UGM. Kedua contoh perpustakaan tersebut memberikan ilustrasi bagaimana koleksi tidak dipajang dalam rak-rak buku, namun dalam bentuk akses yang diberikan kepada pemustakanya, dalam hal ini adalah para mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut. Keduanya memiliki cara akses yang sama yaitu hanya boleh diakses oleh mahasiswa dan staf perguruan tinggi yang bersangkutan. UNS memberikan akses hanya pada saat mahasiswa dan staf berada di lingkungan kampus (dengan cara mendaftarkan IP Address UNS kepada penyedia e-book dan e-journal), sedangkan UGM memfasilitasi mahasiswa dan staf untuk mengakses dari mana saja sepanjang sudah memiliki akun Single Sign-On (SSO), yaitu yang terdaftar memiliki alamat e-mail UGM. Demikianlah contoh dari apa yang diungkapkan oleh Kattau (2014) sebagai Access as a Service.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Kattau, Maureen. (2014). ‘Access as a Service’ – Reframing the Service Catalogue and Measures of Success for Information Resources. Proceedings of the IATUL Conference.

McCabe, Gerard B. (2000). Planning for a New Generation of Public Library Buildings. Greenwood Press, Connecticut.

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi Kuliah II Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Ramasasi, Twista. (2016). Dinamika “Library As Space”. Retrieved Feb 26, 2017 from http://twistaramasasi.blogspot.co.id/2016/05/generasi-perpustakaan.html

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA

 

Ruang kerja digital: sebuah gagasan

Mungkin sudah beberapa kali kita baca bahwa peran perpustakaan sebagai sarana pencarian ilmu mulai tergeser dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan perluasan peran perpustakaan sebagai sarana penyedia informasi, bukan hanya penyedia buku untuk dipinjamkan. Peran perpustakaan sendiri menurut kami harus diarahkan untuk tidak menentang namun searah dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ellie Wilcox dalam Ida F. Priyanto (2017) dalam konteks perkembangan e-book, bahwa semua pelayanan perpustakaan modern haruslah tetap relevan dengan pemustaka, dan bahwa e-book adalah salah satu bagian penting dalam menawarkan inovasi pelayanan, sebagaimana diinginkan oleh pemustaka dan pada saat dibutuhkan oleh pemustaka.

E-book sebagai salah satu jenis koleksi perpustakaan saat ini, utamanya banyak dilanggan atau dibeli secara perpetual oleh perpustakaan perguruan tinggi. Mahasiswa utamanya pada program pascasarjana memerlukan akses kepada e-book sekaligus juga pada e-journal. Namun koleksi elektronik dalam perkembangannya memiliki jenis kesulitan tersendiri dalam hal pengelolaannya jika dibandingkan dengan koleksi konvensional atau tercetak. Hal ini karena teknologi selalu berubah baik dari segi perangkat lunak pembaca dan pembuat dokumen elektronik, format dari dokumen elektronik serta media penyimpanan dokumen tersebut. Seperti disinyalir oleh Clifford Lynch dalam Irma Elvina (2010) bahwa “…bukan hal yang luar biasa bila orang dapat melihat dokumen tercetak yang sudah berusia 200 tahun. Di dunia tradisional banyak obyek akan survive lama sekali meski ditelantarkan. Obyek digital hanya akan survive bila orang membuat rencana dan dengan sistematis memikirkan kelangsungan hidup obyek tersebut secara berkelanjutan…”

Berdasarkan gambaran dari beberapa hal tersebut di atas, kami mencoba menggagas sebuah ide ruang kerja bagi mahasiswa pascasarjana untuk mengakses koleksi perpustakaan yang berbasis elektronik. Dalam tulisan ini, akan kami tinjau hanya dari 2 aspek, yaitu dari segi jenis koleksi dan dari segi fasilitas ruangan.

Beberapa koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi yang bisa disajikan secara online diantaranya adalah:

  1. Koleksi e-journal dan e-book perpetual. Perpustakaan perguruan tinggi biasanya melanggan e-journal dan e-book dalam bentuk database online yang diterbitkan oleh penerbit besar diantaranya Gale, ScienceDirect, ProQuest, Emerald, Ebsco, Springer, Wiley, dan seterusnya.
  2. Pada perpustakaan perguruan tinggi, skripsi, tesis dan disertasi diunggah ke dalam repositori dalam bentuk elektronik dengan menggunakan perangkat lunak seperti Eprints, Dspace, maupun perangkat lunak buatan sendiri.
  3. Pengumpulan CD, DVD, dan berbagai dokumen elektronik lainnya. CD dan DVD ini biasanya merupakan suplemen dari buku yang dibeli.
  4. Buku, manuskrip, peta yang bisa dijadikan bentuk-bentuk digital (digitized materials), serta berbagai koleksi multimedia.

Berdasarkan pengalaman kami sebagai pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, banyak dari para mahasiswa ini kurang memahami cara penelusuran informasi dalam bentuk digital tersebut, utamanya untuk e-journal dan e-book. Sehingga dalam gagasan sebuah ruang kerja ini, diperlukan petugas atau pustakawan yang siap sedia untuk membantu penelusuran informasi. Diperlukan satu area akses dimana antara pustakawan dan pemustaka jaraknya relatif dekat.

Terkait dengan skema ruangan perpustakaan, Worpole (2004) mengemukakan beberapa tren yang menurut kami beberapa diantaranya bisa diterapkan pada academic library, yaitu;

  1. Perpustakaan yang adaptif terhadap kebutuhan pemustaka diantaranya sirkulasi, akses dan jam buka yang diperpanjang.
  2. Perpustakaan menjadi tempat pertemuan pemustaka dengan mobilitas tinggi namun tetap memerlukan ruang untuk bekerja dalam waktu yang lama dan sekaligus memiliki kemudahan mengakses sumber-sumber informasi tanpa dibatasi waktu.
  3. Kebutuhan untuk belajar dalam waktu yang lama membutuhkan ketersedian sarana dan prasarana diantaranya toilet, kantin, serta ruang rekreasi yang tenang,
  4. Relasi antara perpustakaan dan pemustaka semakin mudah dijembatani melalui perangkat elektronik. Misalnya untuk booking ruang belajar, peminjaman area untuk belajar bersama melalui SMS, dan seterusnya.
  5. Perpustakaan virtual yang bisa diakses 24 jam non stop, 7 hari setiap minggu.

Pada perpustakaan Universitas Sebelas Maret, beberapa sudut baca diberikan konsep lesehan. Konsep ini berdasarkan pada budaya Jawa yang lekat dengan lesehan. Konsep desain perpustakaan utamanya pada ruang belajar harus mendukung budaya setempat. Sebagai contoh di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret di samping disediakan ruang baca konvensional dengan tempat duduk dan meja, juga disediakan area lesehan pada lokasi-lokasi dimana pengunjung bisa membaca dan mempelajari buku yang telah mereka pinjam. Carol R. Brown (2002) dalam konteks mengantisipasi teknologi dalam desain interior perpustakaan mengatakan bahwa perpustakaan yang direncanakan harus mengantisipasi teknologi di masa depan yang tidak kita ketahui. Perpustakaan harus dilengkapi dengan infrastruktur yang memungkinkan penambahan dan pergeseran komputer dengan mudah untuk memberikan tempat pada rak buku dan tempat duduk. Perpustakaan harus mengantisipasi juga perkembangan ini dengan menggunakan biaya yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian konsep ruang kerja mahasiswa pascasarjana adalah:

  1. Sebuah ruangan tersendiri yang terpisah dari koleksi tercetak, dengan asumsi bahwa mahasiswa tersebut sudah meminjam buku dari ruangan lain dan tinggal membawanya ke ruang kerja. Ruangan juga terpisah dengan area dimana biasa terjadi kebisingan misalnya kantin, tempat pengembalian, loker, dan ruang seminar;
  2. Ruangan disekat atau dipisahkan sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, yang mana satu diantaranya pada seperangkat meja dan kursi untuk belajar mandiri, dan pada partisi ruangan lainnya adalah sebuah pojok lesehan untuk belajar bersama ataupun kegiatan kolaboratif;
  3. Perangkat kerja bisa dibagi menjadi 2, yaitu disediakan komputer sebagai Self-Access Terminal dan hanya meja saja bagi yang membawa laptop dan terdapat layar lebar untuk kegiatan kolaboratif;
  4. Sebuah meja tersendiri bagi petugas diantara kedua partisi tadi agar supaya petugas atau pustakawan bisa dengan leluasa dihubungi maupun memudahkannya berkeliling jika ada yang membutuhkan bantuan.
  5. Mahasiswa dipersilakan membawa makanan ataupun minuman secara mandiri dan menjaga kebersihan ruangan agar supaya mereka merasa nyaman bekerja dalam waktu lama.
  6. Pada ruangan ini, bisa disediakan sebuah atau beberapa buah komputer untuk mempelajari cara akses e-journal dan e-book serta untuk mempelajari beberapa tool riset seperti Mendeley, EndNote, mengakses Scopus, dan sebagainya. Perangkat ini bisa memuat simulasi video, website interaktif, maupun pendampingan oleh pustakawan.
  7. Koleksi-koleksi digital tersebut alangkah baik jika sudah dalam tersimpan dalam server lokal dan sudah dikelompokkan menurut subjek-subjek yang misalnya saja sesuai dengan program studi yang ada di perguruan tinggi tersebut. Hal ini sekaligus sebagai fungsi preservasi dokumen digital yang sudah dilanggan perpustakaan. Dengan demikian, diperlukan usaha tersendiri untuk mengunduh dan mengkategorisasikan koleksi-koleksi digital tersebut. Akses lokal ini juga merupakan usaha mendekatkan perpustakaan dengan pemustaka, utamanya untuk berkolaborasi dalam sebuah penelitian.

 

Daftar Pustaka

Brown, Carol R. (2002). Interior Design for Libraries, Drawing on Function and Appeal. American Library Association.

Elvina, Irma. (2010). Mengapa Koleksi Digital Harus Dipreservasi. Retrieved from http://irma.staff.ipb.ac.id/2010/04/07/mengapa-koleksi-digital-harus-dipreservasi/

Priyanto, Ida Fajar (2017). Materi Kuliah Manajemen dan Desain Perpustakaan. Universitas Gadjah Mada

Worpole, Ken. (2004). 21st Century Libraries, Changing Forms, Changing Futures. CABE and RIBA

Perpustakaan digital: sebuah sejarah singkat

Perpustakaan digital yang kita kenal saat ini diinspirasi oleh beberapa ilmuwan mulai pada awal abad ke-20. Artikel ini akan mengungkap beberapa milestone dalam proses penemuan konsep Perpustakaan Digital.

Bagaimana para ilmuwan dahulu membayangkan “perpustakaan digital”

Paul Otlet dalam bukunya Trait de Documentation (1934) mengemukakan “..buku-buku dan informasi terletak di sebuah gedung yang besar, dengan jaringan telepon atau jaringan tanpa kabel sebagai bagian dari sarana untuk memasukkan pertanyaan dari pembaca, serta ada layar untuk menampilkan buku-buku dan informasi dari gedung lain..” Konsep dari Otlet adalah sebuah versi microphotographic dari sebuah buku yang mana foto tersebut dapat diperbesar. Hal ini mirip dengan konsep e-book yang kita kenal kemudian, dimana sebuah karya tulis bisa dibuat dalam 2 versi, yakni buku tercetak dan versi electronik book (e-book).

Vannevar Bush dalam As We May Think (1945) mengungkapkan keprihatinannya atas suatu kejadian dimana konsep Mendel mengenai genetika “hilang” selama satu generasi karena publikasi ilmiahnya tidak sampai kepada kalangan yang mampu mengembangkan penemuan tersebut secara lebih lanjut. Bush menyebut bahwa itu bukan karena publikasi yang melampaui minat orang-orang pada masa itu terhadap pengetahuan, namun lebih kepada ketidakmampuan generasi saat itu untuk mengelola dan mengambil manfaat dari publikasi-publikasi ilmiah tersebut. Menurutnya, supaya publikasi tersebut bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, ia harus dikembangkan terus menerus, disimpan dan yang paling utama haruslah didiskusikan lebih lanjut (consulted).

Karena pada saat itu belum ada perangkat komputer, maka dalam tulisan tersebut Bush mengusulkan sebuah konsep yang berupa sebuah alat yang ia sebut sebagai Memex. Memex sebagai prototipe alat yang merupakan ide awal perpustakaan elektronik. Memex inilah yang disebutkan oleh Colin Steele (2005) sebagai cikal bakal web yang kita kenal saat ini.

Pada tahun yang hampir bersamaan dengan munculnya konsep Memex oleh Bush, muncul juga ide mengenai microform (bentuk-bentuk mikro) yang dicetuskan oleh Fremont Rider (1944). Bentuk mikro ini diantaranya adalah microcard (kartu mikro). Dikatakannya, bentuk-bentuk mikro ini akan sama revolusionernya dengan perubahan bentuk gulungan manuskrip menjadi buku.

“Perpustakaan digital” mulai diwujudkan

Pada sekitar 2 dekade setelah munculnya imaginary machine seperti Memex, beberapa peneliti mulai merealisasikan gagasan-gagasan tersebut.

Marill (1963) seperti disebutkan oleh Licklider dalam Libraries of the Future (1965) mengemukakan bahwa terdapat 2 konsep perpustakaan yakni yang pertama, adalah konsep perpustakaan yang kita kenal saat ini yang terdiri atas koleksi dokumen dan menggunakan katalog untuk memudahkan temu kembali. Konsep kedua yaitu perpustakaan yang fungsi utamanya bukan menyediakan dokumen namun menyediakan informasi. Dalam konsep kedua ini, perpustakaan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengelola informasi. Konsep perpustakaan untuk mengelola informasi inilah yang paling mendekati gambaran kita saat ini mengenai “perpustakaan digital”. Licklider sendiri menggagas konsep “meja aktif” dimana fungsi meja berubah dari semula yang pasif menuju saling terhubung satu sama lain menggunakan kabel menjadi sebuah jaringan (procognitive utilty net).

Gagasan berikutnya datang dari Ted Nelson yang merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah “hypertext” dan “hypermedia”. Nelson menginisiasi Project Xanadu (1960) yang merupakan proyek hypertext-system yang pertama kali namun hingga saat ini tidak dapat direalisasikan karena berbagai hambatan hingga akhirnya kalah populer dengan konsep World Wide Web dari Tim Berners-Lee.

Konsep dari Xanadu sendiri sangat berbeda dengan yang kita kenal saat ini sebagai Microsoft Word, PDF bahkan Web Browser. Xanadu membayangkan sebuah interkoneksi antar dokumen yang secara visual terlihat dengan jelas. Dengan Xanadu, identitas sebuah objek menjadi terjamin karena dalam sebuah objek, data dimasukkan sekali dan tidak terhapus yang dengan demikian menjamin hak cipta dari sebuah karya.

Gambar 1. Mockup dari Xanadu

Perbedaan ini terlihat dari kritik Nelson atas ide Tim Berners-Lee dengan mengatakan:

The World Wide Web took part of our concept, the “hyperlink” (we called it the jump-link, since you can’t see where you’re going), and left out the visible interconnections (which would allow you to see where you’e going). In his 1989 proposal for the World Wide Web, Tim Berners-Lee said:

There are few products which take Ted Nelson’s idea of a wide “docuverse” literally by allowing links between nodes in different databases. In order to do this, some standardisation would be necessary.*

* http://www.w3.org/History/1989/proposal.html

The standardization he allowed in his document format only allowed jump-links, with no visible bridges between them.

Nelson dalam halaman webnya mengatakan “.. banyak yang menyangka bahwa World Wide Web didasarkan pada ide saya. Ide saya sangatlah berbeda.”

Namun demikian ada hal menarik yang diungkapkan oleh Noah Wardrip-Fruin dalam makalahnya berjudul Ted Nelson, Copyright and Literary Machines (ca. 1990). Dalam makalah tersebut, ia membandingkan konsep Xanadu dengan konsep Web seperti yang kita kenal saat ini. Menurutnya konsep Xanadu dianalogikan sebagai sebuah toko buku dimana untuk mengakses informasi diperlukan micropayment. Sedangkan dengan Web, harapan kita akan sebuah “perpustakaan” menjadi kenyataan. Yang artinya, untuk mengakses informasi, kita hanya perlu meminjam apabila tidak akan membeli informasi tersebut.

Konsep perpustakaan digital saat ini

Tim Berners-Lee dalam Information Management: A Proposal (1989) mengungkapkan kekhawatiran yang mirip dengan yang dikemukakan Vannevar Bush pada tahun 1945, yaitu bahwa dengan banyaknya hasil penelitian di CERN dan karyawan dengan turnover rate yang tinggi, hasil-hasil penelitian disana tidak dapat dengan mudah dilacak keberadaannya. Ia mengusulkan sebuah konsep yang terinspirasi dari hypertext-nya Ted Nelson untuk sebuah imaginary system dimana seluruh hasil penelitian di CERN dikelola dan dapat diakses oleh seluruh karyawannya tanpa sekat-sekat hirarki organisasi.

 

Dalam perkembangannya, interaksi antara World Wide Web (WWW) dengan kebutuhan masyarakat untuk mengakses informasi yang tersedia di dalam WWW menjadikan sebuah Search Engine sebagai bagian tak terpisahkan. Search engine menemukan momentumnya pada era Google yang dikembangkan Sergey Brin dan Larry Page pada akhir 1990an. Dalam konteks perpustakaan, penggabungan antara informasi dengan media pencarian informasi menjadi terminologi seperti yang kita kenal sebagai Perpustakaan Digital.

Ada beragam konsep perpustakaan digital yang dipengaruhi oleh dari siapa konsep tersebut berasal. Namun disini kita hanya ambil dari satu konsep saja yaitu yang berasal dari DELOS manifesto. Candela, et.al. dalam Setting the foundations of Digital Libraries: The DELOS Manifesto (2007) mengatakan bahwa Perpustakaan Digital mewakili titik temu dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, termasuk manajemen data, temu kembali informasi, ilmu perpustakaan, manajemen dokumen, sistem informasi, jejaring web, pengolahan citra, kecerdasan buatan, interaksi manusia dan komputer serta kurasi digital.

Dengan perpustakaan digital inilah, keinginan manusia sejak awal abad ke-20 untuk mengelola ledakan informasi dalam sebuah tatanan teknologi mulai menemukan bentuknya. Perpustakaan digital bukan hanya sebuah repositori pasif, namun interaktif yang menyatu dengan pengelolaan referensi, pengelolaan multimedia, pengelolaan sitasi, publikasi, peer reviewing, dan yang tidak kalah pentingnya adalag bagaimana berbagai karya tersebut tetap tersimpan selama beberapa waktu ke depan untuk ditemukan kembali oleh generasi mendatang. Hal ini akan berujung pada pertanyaan sederhana: konsep penyimpanan (storage) macam apakah yang memungkinkan hal ini terjadi?

 

Daftar pustaka:

Bush, Vannevar. (1945). As We May Think. Atlantic Monthly.

Candela, L. et al. (2007). Setting the foundations of digital libraries: The DELOS Manifesto. D-Lib Magazine, 13(3/4). Retrieved from http://www.dlib.org/dlib/march07/castelli/03castelli.html

Curriculum Vitae: Theodor Holm Nelson, Ph.D. (n.d.). Retrieved from http://hyperland.com/TNvita

Hypertext. (n.d.) Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Hypertext

Information Management: A Proposal. (1989). Retrieved from https://www.w3.org/History/1989/proposal.html

Licklider, J.C.R. (1965). Libraries of the Future. The MIT Press.

Nelson, Ted. (1987). Literary Machines. Retrieved from http://www.tcnj.edu/~robertso/readings/nelson-literary-machines.pdf

Priyanto, Ida Fajar. (2017). Materi kuliah Perpustakaan Digital. Universitas Gadjah Mada.

Project Xanadu. (n.d.) Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Project_Xanadu

Rayward, W. Boyd (ed.). (1990). International Organisation and Dissemination of Knowledge: Selected Essay of Paul Otlet. Elsevier.

Steele, Colin. (2005). No Easy Rider? The Scholar and the Future of the Research Library, by Fremont Rider: A Review Article. The Journal of Librarianship and Information Science, Vol 37(1) 2005

Ted Nelson Discovers Hypertext. (n.d.). Retrieved from http://www.livinginternet.com/w/wi_nelson.htm

The Xanadu Parallel Universe, Visibly Connected Pages and Documents for a new Kind of Writing. (n.d.). Retrieved from http://xanadu.com/xUniverse-D6

Vassar Miscellany News. (February 3, 1965). Retrieved from http://faculty.vassar.edu/mijoyce/MiscNews_Feb65.html

Wardrip-Fruin, Noah. (s.a.). Ted Nelson, Copyright & Literary Machines. Retrieved from http://dc-mrg.english.ucsb.edu/conference/CNCSC/multimedia/documents/wardrip-fruin.pdf