Review Artikel “Visualizing Science by Citation Mapping”, Henry Small (1999)

Artikel yang di-review merupakan penelitian Henry Small mengenai visualisasi ilmu pengetahuan menggunakan pemetaan sitasi. Artikel yang sudah cukup lama ini menarik untuk dibaca karena ditulis pada masa-masa awal penggunaan komputer untuk melakukan pemetaan ilmu pengetahuan, dari yang sebelumnya dilakukan analisis secara manual. Artikel ini mungkin merupakan milestone antara era sebelumnya dengan era teknologi informasi dimana visualisasi berperan signifikan dalam kehidupan ilmiah.

Small menjelaskan bahwa pemetaan ilmu pengetahuan merupakan representasi visual mengenai bagaimana disiplin, bidang, spesialisasi dan artikel individual atau penulis saling berhubungan satu sama lain yang ditunjukkan oleh pendekatan fisik dan lokasi relatif sebagaimana peta geografis menunjukkan kedudukan politik dan fisik. Ia kemudian mengutip Lin (1997) yang menyediakan tipologi untuk berbagai macam representasi termasuk hirarkis, jejaring, tersebar dan tampilan peta. Tidak ada yang inheren 2, 3 atau N dimensi mengenai keterkaitan artikel atau topik ilmiah. Pemetaan lebih menekankan ke arah bagaimana menerapkan hal tersebut ke dalam koleksi. Tujuan sebagian besar aplikasi visualisasi informasi adalah penggambaran struktur lokal.

Pada penelitian ini, Small berusaha menyusun informasi ilmiah dengan cara yang lebih natural dan heuristik karena relasi spasial saat ini berperan sangat penting. Penelitiannya bertujuan membuat struktur global dan overview data seluas mungkin, yang pada akhirnya memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi struktur-struktur di bawahnya. Penelitian ini menggunakan data sitasi untuk menghasilkan ordinat. Small menggunakan data dari Institute for Scientific Information (ISI) sejumlah puluhan ribu dokumen multidisipliner. Data tersebut kemudian diolah dengan co-citation clustering, fractional citation counting dan triangulasi serta beberapa metode baru. Metode baru (saat itu) yang digunakan mampu menciptakan nested mapping, volvox display serta memungkinkan koordinasi dan penyusunan detail level atas dengan level di bawahnya. Analisis data dilakukan melalui iterasi sitasi dokumen untuk mengelompokkan penelitian sampai pada tahap yang mudah dilihat oleh peneliti. Hingga pada iterasi keempat, akhirnya diperoleh 35 cluster penelitian level empat.

Gambar 1. Cluster yang muncul setelah 5 kali iterasi (Small, 1999)

Proses clustering tersebut dilakukan menggunakan program komputer berbasis PC yang ia namakan SCI-Map. Pada SCI-Map kemudian dilakukan analisis terhadap 35 cluster yang sudah terbentuk tersebut. SCI-Map memudahkan pengguna untuk mengendalikan dan melihat proses clustering yang sedang terjadi. Pada setiap objek yang terbentuk pada SCI-Map, apabila diklik, maka akan masuk ke dalam level di bawahnya yang lebih detail. Besar kecil ukuran lingkaran cluster tergantung pada jumlah dan sebaran objek pada level di bawahnya. Koneksi antar artikel pada tahun-tahun yang berlainan dilakukan dengan 3 cara yaitu (1) bibliographic coupling, (2) co-citation, dan (3) longitudinal coupling. Kategorisasi artikel menyesuaikan dengan topik jurnal dimana artikel tersebut diterbitkan. Hubungan antara cluster terjadi karena tidak semua dokumen yang disitasi ganda (co-citation) dimasukkan ke dalam satu cluster yang sama. Dengan demikian, keterkaitan antara bidang ilmu yang berbeda justru akan nampak dan akan memperlihatkan potensi penelitian lintas disiplin.

Gambar 2. Hasil akhir proses clustering dengan 35 cluster utama (Small, 1999)

 

Artikel sumber

Small, H. (1999). Visualizing science by citation mapping. Journal of the Association for Information Science and Technology, 50(9), 799.

Hilangnya akses e-jurnal dan e-book(?) (bagian 2)

Wilson (2014) mengatakan bahwa dampak atas banyaknya informasi elektronik sangat dirasakan oleh perpustakaan akademik. Masalah yang dihadapi perpustakaan diantaranya bagaimana mengelola e-book sementara anda tidak bisa mengontrolnya sebagaimana biasa dilakukan terhadap buku cetak. Bagaimana bernegosiasi dengan penerbit sementara mereka memandang perpustakaan (umum) lebih sebagai ancaman daripada sebagai rekanan. Pertanyaan jangka panjangnya adalah bagaimana perpustakaan akan tetap hidup sedangkan di sisi lain akses terhadap informasi elektronik sangat mudah.

Pertanyaan tersebut tampaknya juga merupakan salah satu dilema akses informasi elektronik. Di satu sisi ada kemudahan yang didapatkan oleh pencari informasi (pemustaka), namun di sisi lain ada aspek bisnis dari sebuah penerbit yang juga memiliki siklus hidup. Bagaimana jika penerbit tersebut bangkrut? Bagaimana cara mengakses jurnal tanpa penerbit? Apakah jurnal yang konsentrasinya adalah pada produk ilmiah, juga mampu menyebarluaskan produk mereka sendiri?

Ida F. Priyanto (2017) menjelaskan mengenai komunikasi ilmiah yang terdiri dari 3 siklus, yaitu siklus pengetahuan, siklus publikasi dan siklus akses. Siklus pengetahuan dimulai dari (1) mengembangkan dan membahas ide; (2) mempresentasikan kajian awal; (3) melaporkan penelitian; (4) mempublikasikan penelitian; (5) mempopulerkan pengetahun dan (6) generalisasi dan formalisasi. Siklus publikasi dimulai dari (1) pemikiran awal penelitian yang tertulis dalam berbagai media (komunikasi e-mail, memo, proposal, buku harian, dst). Dilanjutkan dengan (2) penulisan makalah pada prosiding; (3) laporan teknis, tesis dan disertasi; (4) artikel ilmiah; (5) majalah populer, buku dan suratkabar baik cetak maupun elektronik; serta yang terakhir adalah (6) ensiklopedia, annual review, monograf, buku teks dan referensi. Siklus berikutnya adalah siklus akses yang dimulai dari (1) akses publik terbatas; (2) indeks khusus yang tidak diterbitkan, abstrak jurnal dan website konferensi ilmiah; (3) pengindeks untuk tesis dan disertasi; (4) pengindeks artikel ilmiah seperti Web of Science dan Scopus; (5) pengindeks pada media populer seperti  Lexis-Nexis dan terakhir yaitu (6) bibliografi.

Seperti sudah dijelaskan pada bagian pertama tulisan ini, mekanisme pencarian informasi rentan terganggu oleh perkembangan teknologi (disruptive innovation/technology). Demikian pula jika kita melihat siklus pada konteks komunikasi ilmiah di atas, ada beberapa bagian yang melibatkan penerbitan informasi ilmiah berpotensi terganggu siklusnya. Dalam hal tulisan ini, yang kemungkinan terganggu adalah siklus keempat dari masing-masing siklus utama. Siklus keempat ini yaitu mempublikasikan penelitian (pada siklus pengetahuan), artikel ilmiah (siklus publikasi) dan pengindeksan artikel ilmiah (siklus akses). Dalam hal terjadinya kemungkinan terburuk pada penerbit, perpustakaan sebagai lembaga yang bertanggung jawab menyediakan akses informasi kepada khalayak harus mengupayakan akses kembali informasi yang pernah dimiliki (atau dilanggan).

Ada setidaknya 2 pendekatan yang bisa kami ajukan. Yang pertama, dengan menganalogikan kejadian hilangnya data perusahaan ketika penyedia layanan cloud (Nirvanix) tidak mampu beroperasi lagi (seperti sudah kami tulis pada bagian pertama). Dalam kasus kebangkrutan Nirvanix, konsumen hanya memiliki waktu 2 minggu untuk memindahkan datanya (Butler, 2013). Tidak semua konsumen mampu melakukannya. Seperti yang dikemukakan oleh Kent Christensen, seorang konsultan dalam proses migrasi data konsumen Nirvanix ke layanan cloud lain, “Some folks made it, others didn’t.” (Butler, 2014). Apabila perpustakaan menghadapi dilema sejenis, hal yang paling mungkin dilakukannya dalam waktu dekat adalah meminta setiap program studi mengunduh artikel dan jurnal yang terkait dengan kurikulumnya dan kemudian mencetaknya. Keberhasilan tindakan ini mestinya tidak lepas dari peran pustakawan yang sebelumnya sudah memberikan user education bagaimana cara mengakses database yang dilanggan. Semakin sering pustakawan memberikan user education, maka sivitas akademika akan semakin mudah mengoperasikan dan mendownload jurnal dan artikel yang sesuai. Selain mencetak, langkah yang bisa ditempuh lainnya adalah menyimpan berkas yang diunduh ke dalam repositori lokal milik program studi atau perpustakaan fakultas. Repositori ini hanya bisa diakses secara intranet.

Pendekatan kedua menganalogikan hubungan antara penulis (author) dan pembaca (reader) seperti dikemukakan oleh Wilson (2014). Wilson merangkumnya dalam gambar di bawah ini. Gambar tersebut menjelaskan bahwa penulis bisa menjadi pemain kunci dibandingkan dengan penerbit (publisher). Penulis memiliki lebih banyak pilihan untuk menerbitkan buku dan membuka kemungkinan untuk berhubungan langsung dengan perpustakaan, distributor dan penerbit. Wilson juga menggarisbawahi bahwa gambar di bawah ini sudah disimplifikasi dengan mengesampingkan kemungkinan lain seperti penerbit yang tidak melibatkan toko buku dan perpustakaan untuk berhubungan langsung dengan pembaca. Meskipun Wilson menuliskan artikelnya dalam konteks buku, namun tidak menutup kemungkinan hal ini juga bisa saja terjadi dalam konteks artikel pada jurnal ilmiah.

Dalam konsep Wilson ini, relasi yang dibangun antara dosen, peneliti dan mahasiswa dengan penerbit jurnal, sangat berperan. Apabila penulis dan redaksi jurnal bisa mengubah mindset dengan tidak selalu bergantung pada penerbit untuk menyebarluaskan jurnalnya, maka tindakan ini akan berhasil. Konsep ini pada dasarnya menggeser proses distribusi dari berbayar menuju open access.

 

Daftar Pustaka

Butler, Brandon. (September 18, 2013). Gartner’s analyst’s advice to customers of shuttering Nirvanix: PANIC!. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2225398/gartner-analyst-s-advice-to-customers-of-shuttering-nirvanix–panic-.html

Butler, Brandon. (June 2, 2014). Cloud’s worst-case scenario: What to do if your provider goes belly up. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2173255/cloud-computing/cloud-computing-cloud-s-worst-case-scenario-what-to-do-if-your-provider-goes-belly-up.html

Priyanto, Ida F. (2017). Materi kuliah Isu-Isu Kontemporer Informasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wilson, T. (2014). The e-book phenomenon: a disruptive technology. Libellarium: Journal For The Research Of Writing, Books, And Cultural Heritage Institutions, 6(1-2), 3-12. doi:http://dx.doi.org/10.15291/libellarium.v6i1-2.180

Hilangnya akses e-jurnal dan e-book(?) (bagian 1)

Seperti kita bisa lihat saat ini, perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan teknologi informasi sangat luas. Tidak terkecuali bidang perpustakaan, khususnya dalam cara pemustakan memperoleh informasi. Meskipun hingga saat ini kunjungan fisik ke perpustakaan akademik masih cukup tinggi, namun pola atau cara pemustaka mengakses informasi sudah berubah. Diantara perubahan itu adalah pergeseran cara membaca buku, jurnal dan berbagai referensi dari tercetak ke elektronik.

Pada posisi seperti ini, teknologi dikatakan mengganggu (disrupt) cara-cara atau budaya yang sudah mapan. Model pembacaan buku tercetak terhitung sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat sejak 500 tahun yang lalu ketika mesin cetak diciptakan oleh Gutenberg. Sehingga dikatakan bahwa teknologi informasi sebagai sarana mencari informasi menjadi “gangguan” terhadap cara-cara konvensional dan muncul istilah disruptive innovation yang diperkenalkan pertama kali oleh Clayton M. Christensen pada 1997 dalam konteks bisnis.

Salah satu fenomena disruptive technology adalah munculnya cloud storage sebagai tempat menyimpan informasi. Cloud disini tidak hanya bisa diartikan bahwa yang disimpan semata file pribadi maupun file perusahaan, namun juga karya-karya ilmiah. Penerbit jurnal ilmiah beralih dari teknologi percetakan ke teknologi cloud dengan menyediakan access as a service. Pelanggan, dalam hal ini perpustakaan, hanya diberikan hak akses terhadap jurnal tersebut. Bentuk fisik serupa CD pun tidak ada. Dalam penyediaan akses ini, ada 2 tipe akses yaitu perpetual yang mana hak aksesnya adalah selamanya, dan berlangganan yaitu hak akses hanya dimiliki sesuai periode melanggan (biasanya 1 tahun).

Dalam hal penerbit hanya memberikan layanan akses, pertanyaan yang kemudian diajukan adalah: apakah hak akses tersebut masih ada jika perusahaan melakukan merger dengan perusahaan lain atau, kemungkinan terburuknya, perusahaan tersebut bangkrut? Sebelum menjawab pertanyaan ini, bisa kita lihat beberapa kecenderungan yang terjadi pada perusahaan penyedia layanan cloud. Patrick Thibodeau (2013) dengan mengutip penelitian Gartner, mengatakan bahwa pada 2015 karena konsolidasi dan beberapa alasan lain, diperkirakan 1 dari 4 perusahaan IT top 100 dalam bidang cloud akan lenyap. Faktor penyebabnya antara lain pengguna lebih memilih perusahaan penyedia cloud yang terkenal. Hal ini akan menyingkirkan perusahaan kecil, kecuali mereka mampu bersaing dari segi harga dan fasilitas lain yang tidak disediakan perusahaan besar. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi penyimpanan (storage) sangat rentan terhadap perkembangan perekonomian.

Untuk mencegah kehilangan data pada penyedia layanan cloud yang bangkrut ataupun melakukan merger, seperti yang dialami perusahaan Nirvanix, Megacloud dan Symantec Backup Exec., Brandon Butler (2014) memberikan beberapa saran terkait data yang dimiliki pelanggan. Yang pertama dan mendasar -ia mengutip Ahmar Abbas- bahwa perencanaan penyimpanan data dalam cloud harus sudah dilakukan dari awal. Pemilihan penyedia layanan juga menentukan. Perusahaan semacam Amazon dan IBM tidak akan bangkrut dalam waktu dekat. Namun demikian, nama besar tidak selalu menjamin keamanan data. Untuk itu, konsumen harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk. Yang kedua, selalu mempelajari Service Level Agreement (SLA). Dengan memperhatikan SLA, pengguna bisa memahami kekurangan sistem dan dia bisa merencanakan backup di lain tempat. Ketiga, biasanya penyedia cloud selalu menggunakan perangkat lunak proprietary yang tidak selalu kompatibel dengan perangkat lunak pengguna. Untuk menghindari data tidak bisa dibaca oleh user, pelanggan harus meminta jaminan kepada penyedia layanan cloud untuk menyediakan perangkat lunak tertentu untuk bisa membaca data mereka jika penyedia cloud bangkrut tanpa perlu membeli perangkat lunak proprietary seperti yang dimiliki penyedia cloud.

Dan, bagaimana jika publisher jurnal dan buku elektronik mengalami kebangkrutan?

September 2014, perusahaan perantara yang berasal dari Belanda, Swets Information Services BV mengalami kebangkrutan (Kaitlin Mulhere, 2015). Swets menjembatani hubungan antara perpustakaan dan penerbit jurnal, sehingga pembayaran yang sudah dilakukan oleh perpustakaan tidak disampaikan kepada penerbit jurnal. Kebangkrutan tersebut mempengaruhi sekitar 100 college, 20 perpustakaan riset di Amerika Serikat serta jumlah pembayaran yang sudah mencapai sekitar US$ 12 juta yang dibayarkan oleh beberapa universitas. Perpustakaan universitas besar memiliki langganan jurnal yang sangat besar, dari 20 ribu hingga 40 ribu jurnal. Jumlah yang tidak sedikit ini tentu saja mempengaruhi mahasiswa yang menggantungkan informasi dari langganan e-jurnal. Artikel Mulhere tersebut masih menitikberatkan pembahasan hanya dari segi finansial yang dihadapi universitas dan bagaimana menangani gangguan akses dalam jangka pendek dan belum mencoba melihat lebih jauh dampak kebangkrutan layanan e-jurnal pada proses penelitian dan siklus komunikasi ilmiah serta perencanaan teknologi dalam menghadapi kejadian tersebut.

Pembahasan masalah ini kami teruskan pada bagian kedua (lanjutan) tulisan ini.

 

Daftar Pustaka

Thibodeau, Patrick. (December 11, 2013). One in four cloud providers will be gone by 2015. Retrieved Obtober 1, 2017 from https://www.computerworld.com/article/2486691/cloud-computing/one-in-four-cloud-providers-will-be-gone-by-2015.html

Butler, Brandon. (June 2, 2014). Cloud’s worst-case scenario: What to do if your provider goes belly up. Retrieved October 1, 2017 from https://www.networkworld.com/article/2173255/cloud-computing/cloud-computing-cloud-s-worst-case-scenario-what-to-do-if-your-provider-goes-belly-up.html

Mulhere, Kaitlin. (January 2, 2015) Journals and Money at Risk. Retrieved October 1, 2017 from https://www.insidehighered.com/news/2015/01/02/swets-bankruptcy-will-cost-libraries-time-money

Game theory dalam ketidakpastian informasi

Informasi pada saat ini menjadi sebuah istilah yang sangat lekat dengan keseharian kita. Kemunculan informasi, khususnya yang berkaitan dengan teknologinya, tidak lepas dari peran ilmuwan di masa lampau. Floridi (2010) bahkan menyebutkan bahwa Alan Turing, yaitu ilmuwan yang sangat berperan dalam masa awal kemunculan teknologi informasi, merupakan representasi dari kemunculan revolusi keempat. Revolusi yang dimaksudkan disini berkaitan dengan bagaimana kemunculan teknologi bisa mempengaruhi kehidupan manusia. Floridi menyebutkan bahwa revolusi pertama ditandai oleh teori Nicolaus Copernicus mengenai bumi mengelilingi matahari. Revolusi kedua ditandai oleh teori Charles Darwin mengenai spesies manusia. Sedangkan revolusi ketiga ditandai oleh teori dari Sigmund Freud.

Revolusi keempat hingga saat ini kita rasakan dampaknya berupa semakin banyaknya informasi yang kita dapatkan bahkan melebihi yang mampu kita perlukan. Salah satu teori mengenai informasi ini, khususnya dalam bidang ekonomi, menyebutkan bahwa informasi bisa berbentuk asimetrik dan bisa dilakukan analisis terhadapnya. Teori ini menganalogikan analisis terhadap informasi asimetrik serupa dengan menyelesaikan sebuah permainan. Tidak salah apabila kemudian teori ini lebih dikenal dengan Game Theory (GT). GT berawal dari ide zero-sum game dimana seorang pemain memperoleh kemenangan diatas kekalahan pemain lain. ide ini kemudian dikembangkan oleh John von Neumann pada tahun 1944 dalam bukunya berjudul Theory of Games and Economic Behavior yang ditulis bersama dengan Oskar Morgenstern. Edisi kedua dari buku ini kemudian dilengkapi dengan axiomatic theory of expected utility yang memungkinkan ilmuwan statistik dan ahli ekonomi membuat keputusan di bawah kondisi ketidakpastian.

GT merupakan sebuah studi mengenai interaksi (permainan) dan situasi strategis diantara agen (pemain, tidak selalu berupa manusia) yang mana mereka sepenuhnya rasional (mereka lebih mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan pemain lain), selalu mewaspadai pemain-pemain lain dan sadar sepenuhnya bahwa keputusan yang mereka buat saling bergantung dan sangat mempengaruhi hasil akhir permainan. Permainan ini memiliki 4 elemen, yaitu:

  1. Pemain, berapa banyak dan siapa saja mereka
  2. Strategi masing-masing pemain, yaitu tindakan yang mereka lakukan terhadap kondisi yang sudah diberikan (known circumstances)
  3. Keluaran atau hasil akhir dari langkah-langkah yang dilakukan oleh pemain
  4. Urutan waktu dari setiap langkah dan kondisi, jika permainan tersebut berupa permainan berurutan.

Permainan akan berlangsung dengan menarik apabila semua informasi atau keempat elemen di atas tersedia. Jika informasi tersebut tidak tersedia seluruhnya, maka tiap pemain tidak dapat memprediksi efek yang ditimbulkan dari setiap langkah yang ia ambil sebagai respon dari langkah yang diambil pemain lainnya. Ketersediaan informasi secara lengkap ini merupakan asumsi dasar yang dipakai untuk menggambarkan model teoritis dari sebuah pasar persaingan yang sempurna dan efisien. Dalam pasar persaingan sempurna, setiap agen yaitu pembeli dan penjual, konsumen dan perusahaan, diasumsikan memiliki semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang optimal. Namun demikian, ini adalah asumsi yang sangat kuat. Pada kenyataannya banyak permainan dilakukan tanpa adanya informasi yang lengkap. Hal inilah yang kemudian disebut dengan informasi yang asimetrik. Sebagai contoh permainan dengan informasi asimetrik diantaranya Scrabble dan Poker yaitu dimana satu pemain tidak mengetahui huruf atau kartu apa yang sedang dipegang oleh pemain lain.

Kita juga bisa melihat relasi informasi asimetrik ketika melihat cara penggunaan kita terhadap perangkat lunak maupun media sosial. Kecenderungan orang Indonesia untuk mencari perangkat lunak yang gratis tidak membuatnya waspada terhadap berbagai jenis kejahatan dalam dunia cyber. Beberapa perangkat lunak bisa saja disusupi oleh kode-kode program untuk mencuri data atau sekedar menampilkan iklan. Kita kemudian berupaya supaya informasi tersebut menjadi simetrik dengan mencari informasi seluas-luasnya mengenai bagaimana karakteristik program atau perangkat lunak berbahaya. Demikian juga dalam penggunaan media sosial yang hingga saat ini masih bersifat gratis. Proses kita mencari informasi mengenai cara kerja media sosial dan bagaimana mereka mendapatkan keuntungan, merupakan usaha dari kita sebagai pemain dalam sebuah game theory untuk berupaya mensejajarkan diri dengan pemain lain. Dalam posisi sejajar dengan pemain lain (bahkan bisa jadi tidak hanya dengan pemain namun sejajar dengan bandar permainan tersebut), sebuah permainan akan berlangsung elegan.

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bisakah GT diterapkan dalam dunia informasi itu sendiri? Dalam dunia perpustakaan? Asimetri informasi bisa terjadi tatkala baik pemustaka maupun pustakawan tidak mendapatkan akses yang memadai terhadap ilmu baik yang berbentuk cetak maupun elektronik. Prinsip ketidakpastian (uncertainty condition) dalam GT juga bisa dianalogikan pada saat kita melalui mesin penelusur hanya memperoleh informasi paling atas ataupun paling populer. Informasi tersebut tidaklah selalu yang kita butuhkan, bahkan dalam kondisi tertentu, literatur yang diperoleh dipaksakan untuk dipakai mendukung tulisan yang sedang kita buat.

 

Daftar Pustaka

Floridi, L. (2010). Information: A very short introduction. OUP Oxford.

Wikipedia. (September 9, 2017). Game Theory. Retrieved from https://en.wikipedia.org/wiki/Game_theory

Perspektif lain dari Piramida DIKW

Gambar 1. Ilustrasi karikatural tentang data, Sumber: phdcomics.com

Secara common sense, antara data dan informasi bisa diasosiasikan bahwa data yang telah dilakukan proses pengolahan tertentu disebut dengan informasi. Menurut Eko Nugroho (2017), data merupakan fakta tercatat mengenai suatu objek, sedangkan informasi adalah suatu pengetahuan yang bergunan untuk pengambilan keputusan. Jadi, di antara data dan informasi sendiri terdapat suatu proses untuk mengelola dan mengolah, ditambahkan konteks yang melingkupi suatu data tersebut, bahkan dilakukan penyaringan pada data tertentu sehingga menjadikannya informasi yang bisa dipahami oleh siapapun yang membutuhkannya. Tanpa proses pengelolaan dan pengolahan tersebut, data niscaya menjadi tidak bermanfaat.

Dalam bidang ilmu informasi, pengertian antara data, informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan (data, information, knowledge, dan wisdom) yang secara umum diterima bisa dilihat melalui gambar di bawah ini:

Gambar 2. Piramida DIKW, Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/DIKW_pyramid

Piramida tersebut, menurut Danny P. Wallace dalam Wikipedia (2017), tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan piramida tersebut pertama kali muncul. Namun demikian, piramida tersebut sudah sejak lama menjadi bahasa (sehari-hari) dalam bidang ilmu informasi. Dalam piramida DIKW tersebut, data diposisikan paling bawah yang menempati area yang lebih luas dibanding komponen lain. Hal ini mengindikasikan bahwa secara kuantitas, data berjumlah lebih banyak daripada informasi, yang mana harus dilakukan penyaringan sehingga menjadi lebih bermakna. Data juga berada di posisi paling bawah yang mengindikasikan bahwa meskipun berada sebagai pondasi piramid, namun keberadaannya kurang signifikan sebelum dilakukan organizing dan summarizing terhadapnya. Di lain pihak, kebijaksanaan atau wisdom menempati posisi puncak sebagai suatu nilai yang secara luas dianggap benar dan merupakan hasil yang luhur dari proses pengolahan yang terus menerus antara data menjadi informasi, dan informasi menjadi pengetahuan. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk meningkatkan efektivitas. Kebijaksanaan menambah nilai, yang membutuhkan fungsi mental yang kita sebut penghakiman. Nilai etika dan estetika yang disiratkan ini melekat pada aktor dan bersifat unik dan pribadi (Rowley dan Hartley, 2006 dalam Wikipedia, 2017).

Urut-urutan piramida DIKW ini pada sekitar tahun 1960an, terutama transformasi dari data menjadi informasi, diterima secara luas dalam perspektif ilmu komputer. Namun setelah informasi mengalami ledakan (information overload) seperti yang disinyalir oleh Alvin Toffler melalui Future Shock pada 1970, perlu dilakukan definisi ulang mengenai istilah apa yang tepat dalam menggambarkan nilai yang kita ambil dari informasi. Dari sinilah lahir komponen pengetahuan atau knowledge (Weinberger, 2010).

Namun demikian, konsep piramida DIKW ini tidak selamanya kaku. Ada beberapa ilmuwan yang mengkritik konsep piramida ini. Yang pertama, Weinberger mengkritik kemunculan istilah pengetahuan dalam piramida DIKW ini. Dalam kritiknya di Harvard Business Review (2010), ia lebih menekankan definisi pengetahuan menurut Plato, yaitu bahwa pengetahuan (adalah sesuatu yang) telah menjadi semacam seperangkat keyakinan yang benar dan bahwa kita dibenarkan untuk percaya. Dan bahwa karena kita telah menginvestasikan begitu banyak dalam dunia komputasi, maka istilah pengetahuan telah direduksi hanya menjadi semacam hasil akhir dari penyaringan informasi. Menurutnya, pengetahuan lebih dari itu, yakni bukan sekedar hasil dari algoritma penyaringan, namun juga melibatkan proses yang lebih bersifat sosial, memiliki tujuan, kontekstual dan terikat secara budaya.

Lebih lanjut, Weinberger menyatakan bahwa proses kita mendapatkan pengetahuan juga diantaranya juga melalui proses  bermain, berbuat benar dan salah, berbicara dengan orang lain dan membuat ikatan sosial, dengan rasional maupun intuitif, dan seterusnya. Dari pernyataannya ini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa pengetahuan meliputi scope yang lebih luas, melibatkan lebih banyak faktor untuk mencari substansi pengetahuan, memerlukan tidak hanya teknologi namun juga pengalaman manusia dalam melakukan ekstraksi informasi sehingga kita mendapatkan pengetahuan yang kita harapkan. Dari sini, kesimpulan Weinberger bahwa piramida DIKW yang justru semakin atas semakin mengecil dan mengerucut itu paints the wrong picture, bisa kami terima argumentasinya.

Yang kedua, secara lebih teoritis, Fricke (2009) mengatakan bahwa mengenai informasi, ia mengatakan bahwa banyak sekali ragam pengertian mengenai informasi, utamanya dalam bidang ilmu informasi. Pun, mengenai hubungan antara data dan informasi, ia mengatakan bahwa semua data adalah informasi, namun ada informasi yang bukan merupakan data. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa rotasi bumi pada porosnya serta revolusi bumi mengelilingi matahari adalah informasi.  Namun hal ini, untuk sebagian besar tujuan, bukan merupakan data. Informasi bisa berkembang lebih luas daripada data.

Dalam argumentasinya, Fricke juga mengemukakan mengenai strong dan weak knowledge. Ia mengutip AI Goldman (1999) dimana perbedaan signifikan antara strong dan weak knowledge dimana meskipun keduanya meliputi kebenaran hakiki (justified-true-beliefs) dan pernyataan yang benar (justified-true-statement), namun pada weak knowledge, tidak terjadi justifikasi terhadap sebuah pernyataan. Lebih lanjut, dalam komponen hirarki DIKW, menurutnya informasi sifatnya lebih luas dari data dan beberapa bagian daripadanya bersifat lebih logis daripada data. Informasi tidak bisa direduksi menjadi data. Dalam konteks weak knowledge, informasi dan pengetahuan menjadi sinonim, keduanya menjadi satu (collapse into each other). Sedangkan mengenai pengetahuan, ia mengemukakan bahwa perbedaan definisi dari hirarki DIKW adalah bahwa DIKW melihat pengetahuan sebagai know-how, yang mana akan membuatknya tidak bisa diartikulasikan dan tidak dapat didokumentasikan. Sedangkan dalam konteks weak-knowledge, pengetahuan menjadi bisa diartikulasikan dan bisa didokumentasikan.

Sebagai kesimpulan, konsep piramida DIKW tidaklah kaku dan tidak bisa diartikan hanya melalui satu perspektif. Ia membuka kemungkinan definisi dari perspektif lain sehingga membuka peluang menerima berbagai jenis dan bentuk data, informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan tidak semata hanya dari perspektif yang sudah mapan.

 

Daftar Pustaka

Frické, M. (2009). The knowledge pyramid: a critique of the DIKW hierarchy. Journal of information science, 35(2), 131-142.

Nugroho, Eko. (2017). Materi kuliah Penelusuran Informasi berbasis TIK. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Weinberger, David. (February 2, 2010). The Problem with the Data-Information-Knowledge-Wisdom Hierarchy. Retrieved August, 27, 2017 from https://hbr.org/2010/02/data-is-to-info-as-info-is-not

Wikipedia. (2017). DIKW Pyramid. Retrieved August, 27, 2017 from https://en.wikipedia.org/wiki/DIKW_pyramid